"KASIH SEJATI SUAMI ISTRI"
Berikut adalah kisah yg dpt dijadikan suatu perenungan bagi para pasangan suami istri.
Suatu malam ketika aku kembali ke rumah, istriku menghidangkan makan malam untukku. Sambil memegang tangannya aku berkata, ”Saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Istriku lalu duduk di samping sambil menemaniku menikmati makan malam dengan tenang. Tiba-tiba aku tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata rasanya berat keluar dari mulutku.
Aku ingin sebuah perceraian di antara kami, karena itu aku beranikan diriku. Nampaknya dia tidak terganggu sama sekali dengan pembicaraanku, dia malah balik bertanya kepadaku dengan tenang, “Mengapa?” Aku menolak menjawabnya, ini membuatnya sungguh marah kepadaku. Malam itu kami tidak saling bertegur sapa. Dia terus menangis dan menangis. Aku tahu bahwa dia ingin tahu alasan di balik keinginanku untuk bercerai.
Dengan sebuah rasa bersalah yang dalam, aku membuat sebuah pernyataan persetujuan untuk bercerai dan dia dapat memiliki rumah kami, mobil, dan 30% dari keuntungan perusahaan kami. Dia sungguh marah dan merobek kertas itu. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya bersamaku itu telah menjadi orang yang asing di hatiku. Aku minta maaf kepadanya karena dia telah membuang waktunya 10 tahun bersamaku, untuk semua usaha dan energi yang diberikan kepadaku, tapi aku tidak dapat menarik kembali apa yang telah kepada Jane, wanita simpananku, bahwa aku sungguh mencintainya. Istriku menangis lagi. Bagiku tangisannya sekarang tidak berarti apa-apa lagi. Keinginanku untuk bercerai telah bulat.
Hari berikutnya, ketika aku kembali ke rumah sedikit larut, kutemukan dia sedang menulis sesuatu di atas meja di ruang tidur kami. Aku tidak makan malam tapi langsung pergi tidur karena ngantuk yang tak tertahankan akibat rasa capai sesudah seharian bertemu dengan Jane. Ketika terbangun, kulihat dia masih duduk di samping meja itu sambil melanjutkan tulisannya. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan tidurku.
Pagi harinya, dia menyerahkan syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya sejak semalam kepadaku. Dia tidak menginginkan sesuatupun dariku, tetapi hanya membutuhkan waktu sebulan sebelum perceraian. Dia memintaku dalam sebulan itu, kami berdua harus berjuang untuk hidup normal layaknya suami istri. Alasannya sangat sederhana. Putra kami akan menjalani ujian dalam bulan itu sehingga dia tidak ingin mengganggunya dengan rencana perceraian kami. Selain itu, dia juga meminta agar aku harus menggendongnya sambil mengenang kembali saat pesta pernikahan kami. Dia memintaku untuk menggendongnya selama sebulan itu dari kamar tidur sampai muka depan pintu setiap pagi.
Aku pikir dia sudah gila. Akan tetapi, biarlah kucoba untuk membuat hari-hari terakhir kami menjadi indah demi perceraian yang kuinginkan, aku pun menyetujui syarat-syarat yang dia berikan. Aku menceritakan kepada Jane tentang hal itu. Jane tertawa terbahak-bahak mendengarnya. “Terserah saja apa yang menjadi tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah kita rencanakan,” kata Jane.
Ada rasa kaku saat menggendongnya untuk pertama kali, karena kami memang tak pernah lagi melakukan hubungan suami istri belakangan ini. Putra kami melihatnya dan bertepuk tangan di belakang kami. “Wow, papa sedang menggendong mama.” Sambil memelukku dengan erat, istriku berkata, “Jangan beritahukan perceraian ini kepada putra kita.” Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi ke depan rumah untuk menunggu bus yang akan membawanya ke tempat kerjanya, sedangkan aku mengendarai mobil sendirian ke kantorku.
Pada hari kedua, kami berdua melakukannya dengan lebih mudah. Dia merapat melekat erat di dadaku. Aku dapat mencium dan merasakan keharuman tubuhnya. Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan seksama untuk waktu yang agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak muda seperti dulu lagi, ada bintik-bintik kecil di wajahnya, rambutnya pun sudah mulai beruban. Namun entah kenapa, hal itu membuatku mengingat bagaimana pernikahan kami dulu.
Pada hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku mulai merasakan kedekatan. Inilah wanita yang telah memberi dan mengorbankan 10 tahun kehidupannya untukku. Pada hari keenam dan ketujuh, aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami sebagai suami istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tentu tidak mengatakan perasaan ini kepada Jane.
Suatu hari, aku memperhatikan dia sedang memilih pakaian yang hendak dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya tapi tidak menemukan satu pun yang cocok untuknya. Dia sedikit mengeluh, “Semua pakaianku terasa terlalu besar untuk tubuhku sekarang.” Aku mulai menyadari bahwa dia semakin kurus dan itulah sebabnya kenapa aku dapat dengan mudah menggendongnya. Aku menyadari bahwa dia telah memendam banyak luka dan kepahitan hidup di hatinya. Aku lalu mengulurkan tanganku dan menyentuh kepalanya.
Tiba-tiba putra kami muncul dan berkata,” Papa, sekarang saatnya untuk menggendong dan membawa mama.” Bagi putraku, melihatku menggendong dan membawa mamanya menjadi peristiwa yang penting dalam hidupnya. Istriku mendekati putra kami dan memeluk erat tubuhnya penuh keharuan. Aku memalingkan wajahku dari peristiwa yang bisa mempengaruhi dan mengubah keputusanku untuk bercerai.
Aku lalu mengangkatnya dengan kedua tanganku, berjalan dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai ke pintu depan. Tangannya melingkar erat di leherku dengan lembut dan sangat romantis layaknya suami istri yang harmonis. Aku pun memeluk erat tubuhnya, seperti momen hari pernikahan kami 10 tahun yang lalu.
Akan tetapi tubuhnya yang sekarang ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, aku menggendongnya dengan kedua lenganku. Aku susah bergerak meski cuma selangkah ke depan. Putra kami telah pergi ke sekolah. Aku memeluknya erat sambil berkata, “Aku tidak pernah memperhatikan selama ini hidup pernikahan kita telah kehilangan keintiman satu dengan yang lain.”
Aku mengendari sendiri kendaraan ke kantorku, mampir ke tempat Jane. Melompat keluar dari mobilku tanpa mengunci pintunya. Begitu cepatnya karena aku takut jangan sampai ada sesuatu yang membuatku mengubah pikiranku. Aku naik ke lantai atas. Jane membuat pintu dan aku langsung berkata padanya. “Maaf Jane, aku tidak ingin menceraikan istriku.”
Jane memandangku penuh tanda tanya bercampur keheranan dan kemudian menyentuh dahiku dengan jarinya. Aku mengelak dan berkata, “Maaf Jane, aku tidak akan bercerai. Hidup perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memaknai setiap momen kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai satu sama lain. Sekarang aku menyadari sejak aku menggendongnya sebagai syaratnya itu, aku ingin terus menggendongnya sampai hari kematian kami.” Jane sangat kaget mendengar jawabanku. Dia menamparku dan kemudian membanting pintu dengan keras. Aku tidak menghiraukannya. Aku menuruni tangga dan mengendarai mobilku pergi menjauhinya. Aku singgah di sebuah toko bunga di sepanjang jalan itu, aku memesan bunga untuk istriku. Gadis penjual bunga bertanya apa yang harus kutulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, “Aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput.”
Petang hari ketika aku tiba di rumah, dengan bunga di tanganku, sebuah senyum menghias wajahku. Aku berlari hanya untuk bertemu dengan istriku dan menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya untuk memulai sesuatu yang baru dalam perkawinan kami. Tapi apa yang kutemukan? Istriku telah meninggal di atas tempat tidur yang telah kami tempati bersama 10 tahun pernikahan kami.
Aku baru tahu kalau istriku selama ini berjuang melawan kanker ganas yang telah menyerangnya berbulan-bulan tanpa pengetahuanku karena kesibukanku menjalin hubungan asmara dengan Jane. Istriku tahu bahwa dia akan meninggal dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun begitu, dia ingin menyelamatkanku dari pandangan negatif yang mungkin lahir dari putra kami karena aku menginginkan perceraian, karena reaksi kebodohanku sebagai seorang suami dan ayah, untuk menceraikan wanita yang telah berkorban selama sepuluh tahun yang mempertahankan pernikahan kami dan demi putra kami.
Betapa berharganya sebuah pernikahan saat kita bisa melihat atau mengingat apa yang membuatnya berharga. Ingat ketika dulu perjuangan yang harus dilakukan, ingat tentang kejadian-kejadian yang telah terjadi di antara kalian, ingat juga tentang janji pernikahan yang telah dikatakan. Semuanya itu harusnya hanya berakhir saat maut memisahkan.
˘◦˘(*)ªAªмiiЙ(*)˘◦˘◦
Ketika Ketulusan Cinta Dibalas Pengkhianatan
Sebuah pernikahan yang diimpikan oleh banyak orang telah dimiliki oleh Siu Lan bersama suaminya Santoso.
“Kehidupan pernikahan saya biasa-biasa saja, harmonis seperti biasa. Tidak pernah terjadi keributan besar, saya begitu menikmati kehidupan pernikahan yang saya jalani. Ketika ia mulai menjadi salesman ke luar kota, hal itu tidak menjadi masalah dalam keluarga kami,” kisah Siu Lan membuka kesaksiannya.
Namun ternyata sikap manis Santoso di depan isteri dan anak-anaknya hanyalah sandiwara belaka. Saat Santoso sedang bertugas di luar kota, perilaku liarnya mulai terlihat.
“Awalnya sebenarnya saya tidak mau, tapi karena saya terlalu sering keluar kota dan bertemu dengan hal-hal yang seperti itu, akhirnya saya pun tergoda. Jadi ada cara-cara licik, cara-cara yang tidak benar diajarkan oleh teman-teman saya, dan akhirnya saya lakukan juga. Saya juga tergoda ingin hidup seperti mereka,” kisah Santoso mengenai awal kejatuhannya.

Untuk menutupi dan menyembunyikan hubungan gelapnya, Santoso menyusun sebuah siasat jahat. Dengan dalih perusahaanya mau membuka cabang di Malang, Santoso mengajak isterinya untuk pindah ke Malang, tapi ia menyarankan agar isterinya yang terlebih dahulu pindah dan ia akan menyusul setelah menyelesaikan pekerjaannya. Tapi setelah beberapa bulan berjalan, Siu Lan tidak melihat tanda-tanda suaminya akan ikut pindah bersamanya. Dan Santoso kembali berdalih kalau perusahaannya tidak jadi membuka cabang di sana. Siu Lan yang sudah terlanjur pindah pun tidak bisa kembali karena anak-anaknya sudah pindah sekolah ke Malang.
Kebusukan Santoso mulai tercium ketika seorang utusan perusahaan tempat Santoso bekerja datang menemui Siu Lan. Saat itulah Siu Lan baru mengetahui kalau suaminya sudah tidak bekerja di perusahaan itu sejak empat bulan yang lalu. Tidak hanya sampai di situ, Siu Lan juga akhirnya tahu akan perilaku suaminya selama ini. Dari orang tersebutlah Siu Lan tahu kalau Santoso sudah melarikan uang perusahaan dan pergi dengan perempuan lain.

Uang panas Santoso habis di meja judi. Kebangkrutan Santoso memaksanya pergi ke Malang. Meskipun mangkel, Siu Lan tetap menerima Santoso dengan hati yang kecewa. Tapi penerimaan itu tidak melunakkan hati Santoso, ia bahkan berubah menjadi kasar dan sering membentak-bentak isterinya. Bagi Santoso sendiri, sepanjang ia masih bisa membiayai hidup keluarganya, maka Siu Lan tidak memiliki hak untuk menuntut hal lain dari dirinya meskipun Siu Lan adalah isterinya sendiri. Dan semakin lama Santoso semakin jarang pulang sampai pada akhirnya pindah ke tempat lain dan tinggal bersama wanita simpanannya itu.
“Semakin lama kebencian saya semakin mendalam. Waktu itu saya juga sudah mulai sakit-sakitan. Saya seperti orang gila. Saya menangis sendiri, karena saya melihat anak-anak. Saya tidak tahu harus bagaimanalagi, keluarga saya jauh, saya tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar Siu Lan dengan hati yang pedih.

“Anak bungsu saya waktu itu masih kecil dan dia menangis. Lalu saya berpikir untuk apa berniat bunuh diri, padahal mertua saya juga selalu memberikan support kepada saya agar saya tidak menyiksa diri sendiri. Mertua saya mendorong saya untuk bisa merawat diri dan menunjukkan kepada suami saya bahwa saya bisa lebih dari perempuan itu. Mertua saya mengatakan, saya tidak boleh sakit, tidak boleh mati. Kalau sampai saya sakit, maka suami saya dan perempuan itu akan tertawa,” kisah Siu Lan.
Nasehat itu bisa menenangkan hati Siu Lan untuk sementara. Tapi hal itu tidak bisa mengobati luka yang menganga di hatinya. Tanpa disadari, tubuh Siu Lan mulai sakit-sakitan bahkania harus dirawat secara intensif di sanatorium selama satu bulan karena ada flek di paru-parunya dan kondisinya sangat lemah saat itu.

Saat Siu Lan berjuang untuk bangkit dari kelumpuhannya, tanpa ia sadari seorang ibu yang sering lewat di depan rumahnya ternyata memperhatikan dirinya. Meskipun Siu Lan tidak mengenal wanita ini, namun ia memperkenalkan dirinya kepada Siu Lan dengan tutur kata yang halus dan berlaku layaknya seorang ibu kepada anaknya. Seperti menggantikan sosok orangtuanya yang jauh, wanita ini menjadi teman cerita bagi Siu Lan. Siu Lan menceritakan semua pergumulan hidupnya kepada wanita yang belakangan dikenalnya sebagai ibu Agus, ibu gembala sebuah gereja. Siu Lan pun merasakan kelegaan di dalam hatinya kala itu.
Sampai akhirnya Ibu Agus menasehati Siu Lan untuk ikut Tuhan dan berdoa setiap hari. Ibu Agus bahkan datang bersama dengan ibu-ibu para pendoa syafaat khusus untuk mendoakan Siu Lan. Dan Tuhan menyatakan mukjizatnya kepada Siu Lan. Dalam waktu tiga bulan, Siu Lan sudah bisa berjalan kembali.

Setibanya di sana, ketokan pintu tak jua membuka jarak antara Siu Lan dan suaminya. Pintu itu tertutup dengan rapatnya. Anak sulung Siu Lan yang sudah menginjak SMP akhirnya menggedor-gedor pintu itu sambil memanggil ayahnya. Ketika pintu itu terbuka, Santoso beserta perempuan itu ada di sana. Tapi perempuan itu marah besar akan kedatangan Siu Lan beserta anak-anaknya. Dengan kasar ia menjambak rambut Siu Lan. Tidak cukup sampai di situ, perempuan itu berlari ke dalam dan mengambil pisau. Ia mengancam akan membunuh Siu Lan. Siu Lan tak bisa lari begitu saja dengan ancaman itu karena keempat anaknya mengelilingi dirinya, menangis dalam kemarahan dan kekecewaan yang mendalam karena tidak adanya pembelaan dari ayah mereka. Sungguh tragis, bukannya menolong Siu Lan, Santoso malah membela wanita simpanannya.
“Begitu isteri saya pulang, saya ribut dengan dia. Saya benar-benar tidak terima isteri saya diperlakukan seperti itu, tapi saya sendiri sepertinya tidak mampu untuk melawan. Sepertinya saya menjadi laki-laki yang sangat bodoh saat itu,” ujar Santoso dengan hati yang galau.

Siu Lan pun akhirnya membawa anaknya kepada Pak Agus. Setelah dinasehati, Pak Agus menyarankan agar anaknya tinggal di pastori gereja. Bertahun-tahun Siu Lan menangis dan memohon dalam doanya sampai suatu malam saat Siu Lan sedang berdoa di kamarnya, tiba-tiba sebuah cahaya menyinari wajah Siu Lan.
“Malam itu saya berdoa, ‘Tuhan, kalau memang suami saya itu masih suami saya, kembalikan dia kepada saya’. Biasanya kalau saya tidur kamar itu gelap, tapi saya tidak tahu darimana asalnya ada sinar yang menyinari wajah saya. Mungkin itu memang suara Tuhan, ada suara yang berkata, ‘Kamu jangan takut anak-Ku, Aku ada bersamamu’. Dari situ saya sadar kalau Tuhan pasti tolong saya. Beberapa hari kemudian suami saya pulang,” kisah Siu Lan dengan berurai air mata.
Atas saran seorang hamba Tuhan, Siu Lan mencoba berdamai dengan sang suami. Ia pun memberanikan diri meminta suaminya agar mau kembali hidup bersamanya. Siu Lan sujud di kaki suaminya dan meminta maaf, namun bukannya memaafkan Santoso malah menendang Siu Lan. Bahkan melalui perkataannya, ia selalu menyalahkan Siu Lan atas semua yang telah terjadi. Kata cerai pun terlontar dan Santoso menyuruh Siu Lan untuk menikah lagi. Siu Lan hanya bisa menangis dengan pedih melihat tanggapan suaminya saat itu.

Tanpa disadari, permintaan maaf Siu Lan sangat membekas di dalam hati kecil Santoso.
“Saya merasa sangat berdosa. Jangan sampai isteri saya meninggal gara-gara perbuatan saya. Saya harus melepaskan wanita ini,” ujar Santoso.
Santoso akhirnya pindah dari rumah itu namun ia tetap hidup dalam dosa. Sampai akhirnya suatu saat Siu Lan memberanikan diri mengajaknya ke sebuah ibadah. Di sanalah Santoso berkenalan dengan seorang yang bernama Gideon. Oleh Gideon, Santoso diajak untuk mengikuti sebuah camp khusus bagi para pria. Sesi demi sesi diikuti oleh Santoso. Hatinya mulai berkecamuk ketika salah seorang hamba Tuhan membongkar dosa-dosa yang sering para pria lakukan.

Sepulangnya dari acara itu, dengan hati yang meluap-luap Santoso mengungkapkan penyesalannya kepada sang isteri dan anak-anaknya.
“Di saat suami saya meminta maaf, saya menangis. Saya mengucap syukur kepada Tuhan karena Tuhan begitu baik memberikan kepada suami saya kesempatan kedua. Benar-benar hati saya penuh sukacita,” ujar Siu Lan.
“Saya merasa ada kedamaian, saya merasa hidup kembali,” ujar Santoso.
Kembalinya Santoso di tengah-tengah keluarga telah menghidupkan kembali impian Siu Lan akan kehidupan keluarga yang bahagia. Santoso sendiri telah berubah menjadi suami yang lembut. Bagi Siu Lan dan Santoso, kasih mula-mula yang mereka alami di dalam Kristus adalah kekuatan abadi yang mampu mempersatukan keluarga mereka untuk selamanya.

“Hingga saat ini kami sekeluarga semakin saling mengasihi antara suami, isteri dan anak-anak. Dan semua karena kasih Tuhan di dalam keluarga saya begitu besar dan Tuhan yang saya sembah adalah Tuhan yang ajaib,” ujar Siu Lan menutup kesaksian dengan senyuman mengembang di wajahnya. (Kisah ini ditayangkan 28 Juli 2009 dalam acara Solusi Life di O’Channel).
Sumber Kesaksian (jawaban.com):
Siu Lan

Kasih Tuhan Membuatku Mengampuni
Setelah menikah tak setetespun kebahagiaan yang ia rasakan. Ia melalui hari-harinya bersama seorang suami yang kejam dan otoriter. Hanya penderitaan dan caci maki yang ia terima. Hanya karena salah masak, ia menerima tamparan dari suaminya. Ia tidak bisa melampiaskan amarahnya pada suaminya karena suaminya akan lebih marah. Ia hanya bisa memendamnya dalam hati.

Ditengah dirinya yang merasa teraniaya, ia harus tetap melayani suaminya walaupun bukan berdasarkan rasa cinta. Suaminya selalu memukul. Tetapi sesakit apapun ia tidak menjerit, ia hanya menangis. Karena ia malu bila didengar tetangga. Pernah suatu hari ia dicambuk memakai ikat pinggang karena tidak mau melayani suaminya. Badannya memar dan tidak dapat bergerak karena terlalu sakit.
Semakin lama kebiadaban suaminya semakin nampak. Hanya karena ia tidak sempat membersihkan kertas-kertas yang menjadi mainan anak-anaknya, ia dimarahi suaminya. Suaminya menyuruhnya memakan semua kertas-kertasnya, dan menodongkan golok ke leher Yun In. Yun In pasrah. Akhirnya suaminya tidak jadi membacoknya.
Bukan hanya Yun In, tetapi anak-anaknya pun menjadi korban kekejaman ayahnya. Pada suatu hari mereka sekeluarga ingin pergi makan malam bersama keluar, Ay chen, salah satu dari anaknya tidak ikut. Lalu akhirnya Ay Chen tinggal dirumah. Pada saat mereka pulang Ay Chen terlalu lama membukakan pintu. Akhirnya Ay Chen ditampar dan di bilang pelacur.
Walaupun ia mengalami banyak tekanan, cacian, makian dan perlakuan kasar ia tetap sabar dan tidak pernah menyesal akan pernikahannya sejak tahun 1970 Itu. Hal yang paling menyakitkan adalah karena ternyata suaminya telah menikahi perempuan lain di Batam dan berniat membawa istri barunya itu tinggal bersama-sama dengan mereka. Yun In tidak setuju dan meminta cerai. Karena suaminya tidak ingin menceraikan, akhirnya suaminya tidak jadi membawa istri barunya itu.
Karena kesulitan keuangan suaminya menyuruh Yun In untuk bekerja di Kali Jodo sebagai pelacur. Yun In tidak setuju, akhirnya ia pun mendapat pukulan dari suaminya. Setelah itu ia mulai menyadari bahwa ia terlalu tersiksa dengan perlakuan suaminya. Ia juga akhirnya harus mengurus anak dari istri baru suaminya.
Akhirnya pada suatu hari kondisi kesehatan suaminya mengalami penurunan. Karena kebenciannya Yun In mengusir suaminya dan mengungkapkan kemarahannya bahwa ia tidak akan pernah memaafkan suaminya bahkan sampai liang kubur.
Suami Yun In tinggal dipinggir jalan sampai pada suatu saat kondisinya semakin lemah. Akhirnya Yun In membawa suaminya pulang. Pada saat dirumah, mereka mendapatkan kunjungan dari teman-temannya. Itulah sat pertama kalinya suami Yun In mengucapkan kata maaf karena telah menyiksa dan memukul Yun In. merekapun didoakan. Walaupun kaget, Yun In merasa iba dan bisa mengucapkan kata pengampunan, tetapi masih menyimpan benci dalam hati.
Ditengah kebencian yang belum padam, anak-anak Yun In tetap berusaha untuk berada disamping ayah mereka yang semakin kritis. Mereka berdoa supaya Tuhan mengampuni kesalahan papa mereka.
Sepeninggal sang suami, Yun In dan anak-anaknya belum sepenuhnya memaafkan sang ayah. Pada kesempatan yang berbeda terjadi sesuatu yang luar biasa dalam hidup keluarga Yun In. Yun In berdoa untuk dipulihkan dan mengampuni suaminya. Setelah itu Yun In merasakan damai sejahtera yang luar biasa. Ay Chen, sang anak berdoa untuk bisa mengampuni ayahnya. Dan dalam doanya ia melihat ayahnya menangis, lalu setelah ia melepaskan pegampunan, ia melihat ayahnya tersenyum.
“Seandainya papa saya masih bisa denger, saya ingin bilang, saya juga sayang sama dia.” Kata Ay Chen sambil menangis
Akhirnya Yun In dan keluarganya dapat merasakan kebahagiaan yang sempurna. Karena mereka telah mengampuni.
“Arti Yesus buat saya adalah segala-galanya, karena Dia saya ada damai sukacita, karena Dia, saya bisa hidup seperti ini didunia ini.” Ungkap Yun In dengan penuh sukacita.
Sang anak yang ditinggal ibu kandungnya pun mengungkapkan isi hatinya bahwa kerinduannya adalah ingin bertemu dengan keluarga kandungnya. (Kisah ini ditayangkan pada 10 Agustus 2010 dalam acara Solusi Life di O’Channel).
sumber kesaksian:
Li Yun In (jawaban.com)Kekayaan Hancurkan Cinta Andy dan Hui Ming
Bagaimana cara bertemunya dua insan yang saling mencintai kadang tidak dapat di duga. Contohnya Andy, ia jatuh cinta dengan seorang gadis di Taiwan dan berhasil memboyongnya pulang ke Indonesia.

Tidak hanya itu, Andy yang menganggur tidak mau saat diajak untuk memulai sebuah usaha baru.
“Saya sih tadinya ngga setuju, ngapain sih jualan panci. Tapi ya, karena papa juga marah, ya saya jalankan sambil males-malesan.”
Tapi berkat dukungan sang istri, Andy berhasil dalam usahanya. Hanya dalam waktu kurang dari 15 tahun, Andy sudah berlimpah dengan harta. Penghasilannya per bulan mencapai 130 hingga 150 juta membuatnya mampu mengirim anak-anaknya bersekolah di luar negeri. Tapi semua keberhasilan itu membuat Andy besar kepala dan lupa diri, bahkan ia tega mengorbankan perasaan istrinya. Dengan uang hasil kerja kerasnya itu ia merasa memiliki hak untuk melakukan apa saja, termasuk menikmati kehidupan malam.
“Sampai pagi baru pulang, kadang pulangnya mabok-mabok gitu,” ucap Hui Ming. “Sering saya ingin pisah dari dia, pingin cerai.”
Bukan hanya istrinya yang menderita karena ulah Andy, anak-anaknya walaupun bergelimang dengan harta ternyata juga tidak merasakan kebahagiaan. Anak-anaknya yang berada di luar negeri ternyata juga mengkonsumsi minuman keras dan rokok. Hui Ming begitu kaget melihat semua itu saat ia mengunjungi anaknya.
“Kenapa kamu bisa jadi begini?”
“Mama kira uang yang mama kasih tiap bulan bisa bikin bahagia? Bukan itu ma, yang aku butuhin itu perhatian dari mama dan papa..” ungkap anak perempuan Andy.
Keadaan bertambah buruk ketika Andy memutuskan untuk berhenti bekerja, dengan dalih mencukup kebutuhan keuangan keluarga, Andy berjudi. Tapi kenyataannya bukan menghasilkan uang, ia malah kalah judi milyaran rupiah.
Hui Ming yang sudah tidak tahan dengan ulah Andy akhirnya memutuskan akan bunuh diri untuk mengakhiri semua penderitaannya.
“Saya sudah beli obat tikus,” tapi di saat kritis itu tiba-tiba Hui Ming teringat pesan seorang teman yang memintanya untuk berdoa pada Tuhan jika menghadapi masalah. Ia pun berdoa dan berseru kepada Tuhan, dan saat itu Tuhan berbicara secara langsung padanya.
“Saya mendengar suara Tuhan, ‘Suamimu dan anak-anakmu masih membutuhkan kamu. Kamu adalah orang yang penting. Tugasmu belum selesai.’”
Akhirnya Hui Ming pun mengurungkan niatnya bunuh diri. Untuk membantu suaminya melunasi hutang, ia merelakan semua perhiasannya, rumah, tanah dan mobil dijual untuk melunasi hutang, tapi semua itu masih belum cukup. Andy pun mencoba meminjam uang pada adik-adiknya. Tapi, sekalipun Andy telah memohon-mohon, bantuan tak juga di berikan. Bahkan mereka memandang rendah dirinya. Hingga suatu hari seorang teman datang membawa kabar baik kepadanya.
“Dia sepertinya bisa lihat keadaan saya yang letih lesu dan berbeban berat yang butuh pertolongan,” demikian tutur Andy.
Temannya itu membawa Andy untuk mengenal Yesus Kristus yang telah mati dan menebus dosa-dosanya. Namun baru saja Andy mengenal Kristus, sebuah penyakit menyerangnya dan membuatnya terbaring di rumah sakit. Bahkan dokter memberikan vonis, penyakit paru-paru yang diidapnya itu akan segera merengut nyawanya. Dalam kondisinya yang tidak berdaya itu, Hui Ming yang selama ini ia kecewakan, merawatnya dengan penuh kasih dan kesabaran.
“Dia melayani saya dengan mulut diam, hal itu membuat saya hancur hati. Saya pikir ini adalah waktu yang paling tepat untuk minta ampun sama istri.” Hari itu, diranjang rumah sakit tempat Andy terbaring, ia mengaku pada sang istri bahwa ia pernah selingkuh.
Hui Ming sangat kaget dan terluka menghadapi kenyataan itu, namun ia mengingat kasih Tuhan yang telah mati menebus dosanya, “Saya harus maafin dia, sebab Tuhan juga telah memaafkan saya.”
Hui Ming mengusap kepala Andy dengan penuh kasih sayang dan mengatakan bahwa ia mengampuninya. Hal ini membuat Andy seperti mendapat siraman air dari sorga. “Saya peluk dia, dan disitu terjadi pemulihan yang dasyat sekali,” ungkap Andy. “Setelah saya mengerti semua ini, saya katakan pada anak istri saya bahwa kita lebih kaya dari siapapun yang ada di dunia ini.”
Kini Andy telah diubahkan Tuhan menjadi seorang suami dan ayah yang sangat bertanggung jawab kepada keluarganya. “Setelah kami mengenal pribadi Yesus ini, kehidupan kami tidak pernah tidak merasa damai. Damai dan sukacita. Ketika kita mau datang kepada Dia, Dia dapat memberikan harapan hidup yang benar-benar nyata.” (Kisah ini ditayangkan 30 Desember 2010 dalam acara Solusi Life di O’Channel)
Sumber Kesaksian:
Andy Surya & Wu Hui Ming (jawaban.com)
SEPOTONG CINTA
Apalagi Halimah tidak secantik Fara, gadis pilihan hatiku. Kecantikan Fara setara dengan artis Luna Maya. Sedangkan Halimah tak ada seujung kukunya dibanding Fara. Wajah Halimah biasa-biasa saja, hanya saja dia kalem, lembut, santun, cerdas dan taat agama. Pasti itulah alasan kenapa orang tua menjodohkanku dengannya.
Malangnya aku tak bisa menentang keinginan kedua orang tuaku. Tak ada pilihan, kecuali harus kujalani juga pernikahan itu. Setelah aku menikahinya, kuakui kelembutan dan ketulusan hati Halimah. Tak pernah sekalipun ia membantah omonganku. bahkan ketika malam pertama kukatakan yang seharus tidak didengat wanita itu.
“Halimah, sejujurnya aku merasa sangat tersiksa dalam kamar ini…” kataku berterus terang.
“Kenapa, Mas? Sebenarnya Mas tidak suka sama saya, ya?” tanyanya dengan suara lembut dan bernada santun.
“Terus terang ya, aku memang tidak suka dengan perjodohan ini. Aku terpaksa menjalani, karena hanya untuk menuruti keinginan orang tuaku terutama ibuku. Kalau kamu mau tahu, sebenarnya aku punya pacar. Aku masih tidak bisa melupakan kekasihku.”
Aku melihat mata Halimah mulai berkaca-kaca. Ada air yang menggenang di pelupuk matanya. Bibirnya gemetar ketika ingin berkata-kata.
“Aku pun tidak suka dengan perjodohan ini Mas, tapi aku mencoba untuk menjalaninya demi kebahagiaan hati Ibuku. Ini tanda baktiku pada Ibu, yang telah membesarkan aku dan dua adikku tanpa seorang suami sejak aku SMP. Aku juga hanya minta Mas mau mencobanya. Aku tidak minta lebih dari itu.”
“Baiklah kalau begitu. Aku hargai permintaanmu. Jika selama dua bulan aku masih belum bisa mencintaimu, kita bercerai. Aku janji selama dua bulan aku tidak akan menyentuhmu,” jawabku.
Semenjak itu kami tidak pernah tidur sekamar, apalagi seranjang. Aku tidur di sofa ruang keluarga dan dia di dalam kamar. Hari ke hari kami jalani bersama, tetapi dia tampak seperti orang asing. Aku seperti tidak mempunyai seorang istri, tapi Halimah tetap menjalankan perannya sebagai seorang istri yang baik. Entah kenapa aku belum bisa memberinya tempat di hatiku. Tapi aku benar-benar kagum dengan kesabarannya, hanya sayangnya kekagumanku itu tak lanta membuatku cinta padanya.
Tak terasa pernikahan kami sudah berumur satu bulan. Itu artinya, waktu kami tinggal empat minggu lagi untuk membuat keputusan. Getar-getar cinta masih belum hadir di hatiku. Gilanya kerinduanku terhadap Fara semakin membuncah sampai akhirnya aku menemuinya tanpa sepengetahuan Halimah. Dan itu selanjutnya kulakukan berulang kali.
Sampai suatu malam, aku makan malam dan pergi nonton ke bioskop bersama Fara. Sewaktu aku pulang, aku melihat Halimah tertidur di sofa tempat biasa aku tidur. Mungkin dia lelah dan ngantuk lantaran terlalu lama menungguku. Wajahnya terlihat letih, aku iba melihatnya, tapi tak sedikitpun tergugah hatiku untuk membopongnya ke kamar. Aku masih teringat janjiku tak akan menyentuhnya.
Satu minggu kemudian, aku mengalami kecelakaan. Dan ketika siuman dunia begitu gelap, lalu kuraba mataku tapi yang kusentuh kain perban. Dokter menjelaskan bahwa kecelakaan telah mengakibatkan mataku buta. Sebuah mukjizat dari Tuhan, kata dokter, nyawaku masih terselamatkan.
Selain kehilangan kedua mata, selanjutnya aku juga kehilangan pekerjaan. Aku frustrasi bahkan putus asa sampai ingin bunuh diri. Namun Halimah setia di sampingku, menghiburkan, menguatkan aku dan selalu menyuntikkan semangat.
Dua minggu di rumah sakit, aku dibawa ke ruang operasi, karena menurut dokter aku telah terpilih sebagai salah seorang penerima donor mata. Aku menerima semua peristiwa itu dengan sangat gembira di satu sisi, tapi di sisi lain menjadi peringatan dari Allah untukku agar aku menyempurnakan peranku sebagai seorang suami.
Operasi berjalan sukses. Aku sudah tak sabar ingin membuka mata dan kembali melihatnya indahnya dunia. Tibalah hari itu, di mana aku boleh mulai membuka mata. Aku buka perlahan, sedikit demi sedikit. Semua masih terlihat buram, tapi tetap bisa kukenali wajah Halimah di sampingku. Dia tersenyum.
Perlahan-lahan pandangan semakin jelas, tambah jelas dan jelas kulihat Halimah masih berdiri disampingku tapi dengan mata terpejam. Oh ternyata! Dialah, istriku, yang mendonorkan matanya untukku. Ya Allah Ya Robbi… dimana lagi bisa kutemukan wanita seperti dia di dunia ini. Karena dialah aku bisa kembali melihat dunia dengan jelas.
Yang lebih menarik, dia tetap bisa melakukan perannya sebagai seorang istri yang baik. Meski tanpa mata, ia tetap memasak untukku. Mungkin karena dia sudah hafal betul tata ruang dan tata letak seisi rumah.
“Halimah, mengapa kamu lakukan ini?” tanyaku pada hari pertama aku kembali berada di rumah.
“Itu semata-mata aku lakukan untuk pengabdianku sebagai seorang istri. Agar Mas kembali bersemangat dan bisa melakukan pekerjaan untuk mencari nafkah.”
Aku tersentak, Dia rela mendonorkan organ tubuh paling vital hanya untuk diriku. Ya Allah… begitu mulianya hati wanita ini. Nyaliku ciut di hadapannya. Ilmuku terasa tak sebanding dengan akhlakul karimahnya. Aku tak tega melihatnya harus berjalan meraba-raba. Tapi aneh betul, betul-betul aneh, rasa cinta masih tak bersemi juga dihatiku.
Kenapa hatiku tak luluh, tidak tergugah juga untuk mencintainya. Apakah hatiku begitu keras melebihi kerasnya batu karang?
Bahkan, suatu malam kuucapkan kata-kata yang sesungguhnya sangat tak pantas kuucapkan untuk wanita yang telah mendonorkan matanya untukku. Malam itu adalah malam terakhir pernikahanku dengan Halimah. Itu kesepakatan kami.
“Sampai saat ini aku belum juga bisa mencintaimu Halimah,” kataku.
Sadis kedengarannya. Tapi Halimah tetap penuh kelembutan dan memberi senyuman walau berat di dalam hati tersirat pula di raut wajahnya.
“Coba saja dulu, masih ada satu hari esok. Mungkin saja cinta itu datang terakhir.”
“Kalau misalnya tidak juga, bagaimana?” tanyaku.
Halimah hanya diam lalu tersenyum getir. Aku tak tahu apa yang dirasakan Halimah. Tapi aku melihat dia tercenung begitu lama. Wajahnya pucat. Bibirnya gemetar, merangkai beberapa kata yang tak pernah kusangka.
“Baiklah Mas, kita bercerai. Aku akan menerima jika memang itu yang akan membuatmu bahagia. Kebahagiaanmu adalah kebahagianku juga.”
Aku terharu. Aku limbung. Kini, giliran aku yang tercenung. Aku terharu. Dan pada saat itu robohlah dinding yang menghalangi cintaku. Aku memeluknya erat. Sangat erat. Dalam dekapan itu hawa kesejukkan menyusup ke dalam tubuhku, ke jantungku dan mengalir lewat darah di sekujur tubuhku. seluruh organ tubuhku bagai berteriak sayaaaaang… yang begitu mendalam hingga mengakar hingga ke dalam sumsum tulangku. Aku yakin, cinta wanita inilah yang telah dikirim Allah untukku.
“Halimah, jika kebahagianku adalah kebahagianmu, izinkanlah aku menjalani hidupku hanya bersamamu, karena cinta di sanubariku ini bukan untuk dipendam tapi untuk dipersembahkan padamu.”
Istriku sayang, Istriku malang
elera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh… betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan. “Ibu…ibu, kapan kamu dapat memasak dengan benar…? Selalu saja, kalau tak keasinan…kemanisan, kalau tak keaseman… ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.
“Sabar ayah, katanya mau jadi suami yang baik, yang penyabar, baru gitu aja kok udah marah-marah, kayak kehilangan apa aja,” ucap istriku. “Iya, sabar sih sabar bu, tapi kalo tiap hari makan terus-menerus seperti ini, ayah mana tahan…” jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan ketenangan di rumahku. Namun apa yang terjadi…? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah,
Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian… ouw… berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. “Aduh, ibu….ibu, bagamana ayah tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini…,” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Belum selesai aku marah, sudah terdengar ledakan tangis istriku yang begitu pilu.
“Sudahlah bu, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat…? Isteri shalihat itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai di pipinya. “Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus, ayah nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
Suatu saat, istri tercintaku ini memintaku untuk mengantarkannya pergi ke sebuah acara, tetapi aku menolaknya karena ada rapat penting di kantor. Sebenarnya aku tak tega membiarkan ia pergi dengan naik bis umum, karena ia sedang hamil. Tapi apa boleh buat, rapat di kantor rasanya lebih penting dari pada mengantarkan istriku.
Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku menghadiri acara. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu.
Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku.
Sampai kemana-mana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku sayang,” pinta hatiku. “Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ibu-ibu berjalan melintas sambil menggendong bocah. Pakaian mereka begitu indah dan cerah.
Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penatianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaju hitam melintas. “Ini dia istriku tersayang!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.
Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.”
Sedang aku…? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku…? Terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! “Buuu…!” panggilku. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. “Ayah…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku.
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah…,” ucapnya dengan suara tulus. Ah, sayangku, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri baik sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku’
Ini contoh yg dapat ditiru buat sbagian suami yg kurang perhatian terhadap istrinya!
Susah Ampuni Istri Selingkuh,Meski Aku Hamba Tuhan
Berawal dari teman yang menceritakan bahwa dia melihat Evert di mall bersama wanita lain, membuat istri Evertlandus curiga. Dia mencoba memeriksa handphone Evert yang tidak pernah dihapus SMS-nya. Kecurigaan ini diperkuat dengan salah satu SMS yang mengungkapkan kata ‘sayang’ dari suami Debby, Evertlandus.
“Akhirnya saya tanya sama suami saya. Saya sebut nama cewek ini (yang ada di handphone tersebut).” kisah Debby, istri Evert. Lalu Evertlandus menceritakan bahwa cewek ini cuma curhat dan tidak ada apa-apa di antara mereka. Untuk membuktikannya, Evert menelepon si cewek di depan istrinya.
“Istri saya marah-marah dengan wanita itu. Saya kemudian bilang kepada wanita itu kalau kami tidak bisa berhubungan lagi.” kisah Evertlandus kemudian. “Tetap aja. Saya kayaknya nggak percaya. Saya pikir suami saya ini pasti selingkuh. Oh, liat aja. Kalau lu bisa, saya juga bisa. Itu yang tertanam di pikiran saya.” timpal Debby kemudian.
Kecemburuan itu sudah membutakan mata hati istrinya. Demi membalas Evert, sebuah tindakan konyol pun dilakukan sang istri. “Ya, tadinya memang urusannya itu cuma urusan pekerjaan. Karena sering bersama, ya ga tahu kenapa, kenapa saya bisa gitu ya, saya tertarik sama cowok itu dan akhirnya melakukan hubungan yang terlarang.” tutur Debby kemudian.
Di lain sisi, Evert pun curiga kepada istrinya. Istrinya yang tidak pernah membuatkan teh maupun menyediakan roti untuknya, mau menyediakan teh dan roti untuk laki-laki tersebut. Sang istri pun pandai menutupi perselingkuhannya. Ajakan Evert dan temannya untuk ikut ke Bandung tidak digubrisnya. Dia malah bersenang-senang dengan pria selingkuhannya.
Ketika Evert sudah pulang dari Bandung, Evert semakin merasa curiga. Pasalnya adalah ketika dia menggedor pintu rumah yang terkunci, lama tidak ada yang membuka. Akhirnya agak lama baru Debby membuka pintu. Mengingat peristiwa itu, Debby masih ingat rasa takut ketahuan oleh suaminya karena perselingkuhan yang dia lakukan.
Saat itu Debby menjelaskan bahwa dia habis mandi, dan sekarang laki-laki yang membantunya beres-beres rumah orangtuanya lagi mandi. Di situlah Evert mulai berpikir, “Wah, sudah terjadi ini.” Evert saat itu menahan dirinya dan mengatakan bahwa mereka sedang ada masalah rumah tangga dan meminta laki-laki itu untuk tidak datang dulu ke rumah mereka. Evert takut dia bisa membunuh laki-laki tersebut.
Kebusukan itu akhirnya Evert bongkar di depan keluarga sang istri. Belum puas sampai di situ, Evert melakukan tindakan gila lainnya. Dia menginterogasi istrinya dan menanyakan berapa kali mereka melakukan hubungan terlarang itu. Istrinya mengatakan bahwa sudah tiga kali mereka berhubungan intim, tapi Evert tidak percaya. Meskipun tembok yang dipukul oleh Evert, namun istrinya menangis juga. Evert kemudian menyuruh istrinya agar menelepon laki-laki selingkuhannya tersebut, kalau tidak dia akan mati malam ini.
Malam itu juga, Debby menelepon dan meminta laki-laki selingkuhannya untuk datang karena ada suatu urusan yang ingin dibicarakan. Saat itu juga, Debby mengakui kesalahannya dan dia tidak mau mengulanginya lagi. Debby ingin agar semuanya berjalan lancar dan suaminya tidak marah-marah lagi, namun ditolak mentah-mentah oleh Evert.
Akhirnya laki-laki itu datang, Evert mengunci pintu rumahnya. Pertama-tama, dia bilang bahwa laki-laki itu seperti pagar makan tanaman. Dia juga menanyakan berapa kali mereka berhubungan intim. Ketika dijawab tiga kali, Evert tidak percaya. Laki-laki itu dipukul olehnya. Pukulan itu membuatnya tangannya sakit, sehingga dia pun menggunakan kaki dan lutut untuk menghajar perut laki-laki tersebut.
“Saya rencana mau bunuh dia sih, saya mau hajar pakai besi. Akhirnya, saya telepon adik saya itu. ‘Eh, lu mau liat ga nih, laki-laki yang tiduri bini gua…’ Adik saya suruh saya tahan di situ. Tak lama kemudian kakak saya telepon. ‘Siapa tuh, kunci dia di kamar, biar kita kuliti dia, kita potong-potong dia’. Kalau saya lepasin dia ke tangan kakak dan adik saya, matilah dia.”
Namun, ketika adik dan kakaknya datang, dia tidak membiarkan mereka masuk. Evert menyuruh agar lelaki itu tetap di dalam rumah dan tidak keluar rumah. Setelah itu, Avert meminta nomor telepon keluarga si laki-laki selingkuhan istrinya, namun dia tidak mau memberikannya. Alasannya, ”Bang, jangan. Ayah saya lagi sakit, nanti kalau dia denger yang begini dia bisa mati.”
“Aku tidak mau tau, kasih ga nomor keluarga lu…” tanya Evert kepada laki-laki itu.
Saat itulah adik Evert masuk. “Adik saya ke dapur dan mengambil pisau. Terus dia disamperin..” Dia menyorongkan pisau itu ke laki-laki tersebut dan meminta nomor telepon yang diminta. “Dari tadi kenapa…” katanya setelah memukul kepala laki-laki dengan menggunakan helm.
Akhirnya Evert menelepon keluarga laki-laki itu. Meskipun tidak bisa menghubungi ayahnya, akhirnya Evert berbicara dengan kakak perempuannya. Mereka datang ke rumah Evert. Evert juga memanggil RT setempat dan meminta laki-laki tersebut untuk tidak datang di sekitar rumah / RT tempat mereka tinggal. Perjanjian ini dibuat hitam di atas putih, jadi kalau masih berhubungan, Evert akan lapor polisi.
Setelah semuanya selesai, mereka pun pulang ke rumah. “Saya sudah tidak mikirin malu, saat itu sudah tidak ada malu di hati saya terhadap kondisi ini.” Sebaliknya, Debby sangat merasa malu atas kejadian tersebut.
Kejadian tersebut membuat Debby memutuskan untuk berpisah dengan suaminya. “Karena saya pikir, buat apa lagi saya pertahankan? Kan, saya sudah ketahuan selingkuh, saya sudah tidur dengan laki-laki lain.” Namun lain dengan yang ada di pikiran Evertlandus.
“Buat saya, tidak ada kata perceraian, semua masalah kita selesaikan bersama. Bahwa pernikahan saya buat sekali seumur hidup.” Perkataan Evert seperti itu, membuat istrinya begitu menyesal dan sedih sekali. Kenapa ya saya melakukan hal seperti itu, begitu kata hati Debby.
Memang Evert bisa menerima kejadian ini, namun tetap ada yang tersisa di hatinya. Hal ini membuat Debby ingin menjauh sebentar dan kembali ke rumah orangtuanya. Evert marah-marah, semua barang Debby dikeluarkan dan Debby disuruh pergi dari sana. Debby yang duduk di bawah lantai, hanya bisa menangis menerima lemparan barang-barang dari suaminya.
“Saya merasa puas kalau melihat dia menangis, saya puas kalau bisa menyakiti dia. Saya ingin dia merasakan sakit seperti saya. Saya memang tidak pernah pukul dia, kalau saya kesel banget, saya pukul tembok.” itulah perasaan Evert saat itu. Susah bagi Evert untuk menghapus luka batin yang dideritanya.
Evert mencoba berbagai cara. Ketika di tempat tidur, Evert memeluk istrinya, tapi ada perasaan tidak nyaman. “Tapi saya merasa jijik aja gitu, saya merasa kok bekas orang ya? Terkadang juga terbayang di pikiran saya bahwa dia tidur dengan laki-laki lain. Saya kok bisa seperti ini ya? Saya komplain dengan Tuhan.”
Selama 1 tahun itu Evert menyimpan rasa sakit di hatinya, meskipun sebagai seorang hamba Tuhan, susah baginya untuk mengampuni perselingkuhan sang istri. Apalagi ketika dia sedang mempersiapkan materi tentang pengampunan, terjadi pertentangan dalam batinnya. Dia sampai-sampai membenturkan kepalanya.
Kemudian ada suara dalam hatinya. “Saya tidak tuntut kamu sempurna kok…Kamu mau naik kelas.” Meskipun sangat menyadari hal itu, tapi Avert tetap saja menderita. “Iya, saya sakit lho. Saya nggak kuat menahan. Tuhan, saya bisa gila nih. Lebih baik saya mati aja deh. Saya berharap kepala saya pecah.”
Dengan segala keputusasaan, Evert tetap pergi ke acara tersebut. Di atas sepeda motor yang setia membawanya ke tempat tujuan, Evert terus bicara dengan Tuhan tentang apa yang harus dia khotbahkan. Dia meminta bisa mengampuni istrinya, agar tidak ada rasa sakit.
”Jadi, ketika saya berkhotbah, Tuhan mengingatkan jika ada orang yang menyakitinya, ampunilah dia, doakanlah dia, berkati dia, Tuhan ingatkan yang lebih mengena kepada saya adalah jika engkau memberikan persembahan kepada-Ku tapi punya masalah dengan saudaramu. Pulanglah, bereskan masalah itu terlebih dahulu.”
Selesai ibadah, Evert menemui sang istri. Evert berdoa dan mengatakan kepada istrinya bahwa dia mengampuni istrinya. Sejak saat itu, damai sejahtera ada pada keluarga mereka. Rumah tangga mereka dipulihkan. (Kisah ini ditayangkan pada acara Solusi Life di O Chanel tanggal 11 Agustus 2010)
Sumber Kesaksian :
Evertlandus dan Debby (jawaban.com)

“Istri saya marah-marah dengan wanita itu. Saya kemudian bilang kepada wanita itu kalau kami tidak bisa berhubungan lagi.” kisah Evertlandus kemudian. “Tetap aja. Saya kayaknya nggak percaya. Saya pikir suami saya ini pasti selingkuh. Oh, liat aja. Kalau lu bisa, saya juga bisa. Itu yang tertanam di pikiran saya.” timpal Debby kemudian.
Kecemburuan itu sudah membutakan mata hati istrinya. Demi membalas Evert, sebuah tindakan konyol pun dilakukan sang istri. “Ya, tadinya memang urusannya itu cuma urusan pekerjaan. Karena sering bersama, ya ga tahu kenapa, kenapa saya bisa gitu ya, saya tertarik sama cowok itu dan akhirnya melakukan hubungan yang terlarang.” tutur Debby kemudian.
Di lain sisi, Evert pun curiga kepada istrinya. Istrinya yang tidak pernah membuatkan teh maupun menyediakan roti untuknya, mau menyediakan teh dan roti untuk laki-laki tersebut. Sang istri pun pandai menutupi perselingkuhannya. Ajakan Evert dan temannya untuk ikut ke Bandung tidak digubrisnya. Dia malah bersenang-senang dengan pria selingkuhannya.
Ketika Evert sudah pulang dari Bandung, Evert semakin merasa curiga. Pasalnya adalah ketika dia menggedor pintu rumah yang terkunci, lama tidak ada yang membuka. Akhirnya agak lama baru Debby membuka pintu. Mengingat peristiwa itu, Debby masih ingat rasa takut ketahuan oleh suaminya karena perselingkuhan yang dia lakukan.
Saat itu Debby menjelaskan bahwa dia habis mandi, dan sekarang laki-laki yang membantunya beres-beres rumah orangtuanya lagi mandi. Di situlah Evert mulai berpikir, “Wah, sudah terjadi ini.” Evert saat itu menahan dirinya dan mengatakan bahwa mereka sedang ada masalah rumah tangga dan meminta laki-laki itu untuk tidak datang dulu ke rumah mereka. Evert takut dia bisa membunuh laki-laki tersebut.
Kebusukan itu akhirnya Evert bongkar di depan keluarga sang istri. Belum puas sampai di situ, Evert melakukan tindakan gila lainnya. Dia menginterogasi istrinya dan menanyakan berapa kali mereka melakukan hubungan terlarang itu. Istrinya mengatakan bahwa sudah tiga kali mereka berhubungan intim, tapi Evert tidak percaya. Meskipun tembok yang dipukul oleh Evert, namun istrinya menangis juga. Evert kemudian menyuruh istrinya agar menelepon laki-laki selingkuhannya tersebut, kalau tidak dia akan mati malam ini.
Malam itu juga, Debby menelepon dan meminta laki-laki selingkuhannya untuk datang karena ada suatu urusan yang ingin dibicarakan. Saat itu juga, Debby mengakui kesalahannya dan dia tidak mau mengulanginya lagi. Debby ingin agar semuanya berjalan lancar dan suaminya tidak marah-marah lagi, namun ditolak mentah-mentah oleh Evert.
Akhirnya laki-laki itu datang, Evert mengunci pintu rumahnya. Pertama-tama, dia bilang bahwa laki-laki itu seperti pagar makan tanaman. Dia juga menanyakan berapa kali mereka berhubungan intim. Ketika dijawab tiga kali, Evert tidak percaya. Laki-laki itu dipukul olehnya. Pukulan itu membuatnya tangannya sakit, sehingga dia pun menggunakan kaki dan lutut untuk menghajar perut laki-laki tersebut.
“Saya rencana mau bunuh dia sih, saya mau hajar pakai besi. Akhirnya, saya telepon adik saya itu. ‘Eh, lu mau liat ga nih, laki-laki yang tiduri bini gua…’ Adik saya suruh saya tahan di situ. Tak lama kemudian kakak saya telepon. ‘Siapa tuh, kunci dia di kamar, biar kita kuliti dia, kita potong-potong dia’. Kalau saya lepasin dia ke tangan kakak dan adik saya, matilah dia.”
Namun, ketika adik dan kakaknya datang, dia tidak membiarkan mereka masuk. Evert menyuruh agar lelaki itu tetap di dalam rumah dan tidak keluar rumah. Setelah itu, Avert meminta nomor telepon keluarga si laki-laki selingkuhan istrinya, namun dia tidak mau memberikannya. Alasannya, ”Bang, jangan. Ayah saya lagi sakit, nanti kalau dia denger yang begini dia bisa mati.”
“Aku tidak mau tau, kasih ga nomor keluarga lu…” tanya Evert kepada laki-laki itu.
Saat itulah adik Evert masuk. “Adik saya ke dapur dan mengambil pisau. Terus dia disamperin..” Dia menyorongkan pisau itu ke laki-laki tersebut dan meminta nomor telepon yang diminta. “Dari tadi kenapa…” katanya setelah memukul kepala laki-laki dengan menggunakan helm.
Akhirnya Evert menelepon keluarga laki-laki itu. Meskipun tidak bisa menghubungi ayahnya, akhirnya Evert berbicara dengan kakak perempuannya. Mereka datang ke rumah Evert. Evert juga memanggil RT setempat dan meminta laki-laki tersebut untuk tidak datang di sekitar rumah / RT tempat mereka tinggal. Perjanjian ini dibuat hitam di atas putih, jadi kalau masih berhubungan, Evert akan lapor polisi.
Setelah semuanya selesai, mereka pun pulang ke rumah. “Saya sudah tidak mikirin malu, saat itu sudah tidak ada malu di hati saya terhadap kondisi ini.” Sebaliknya, Debby sangat merasa malu atas kejadian tersebut.
Kejadian tersebut membuat Debby memutuskan untuk berpisah dengan suaminya. “Karena saya pikir, buat apa lagi saya pertahankan? Kan, saya sudah ketahuan selingkuh, saya sudah tidur dengan laki-laki lain.” Namun lain dengan yang ada di pikiran Evertlandus.
“Buat saya, tidak ada kata perceraian, semua masalah kita selesaikan bersama. Bahwa pernikahan saya buat sekali seumur hidup.” Perkataan Evert seperti itu, membuat istrinya begitu menyesal dan sedih sekali. Kenapa ya saya melakukan hal seperti itu, begitu kata hati Debby.
Memang Evert bisa menerima kejadian ini, namun tetap ada yang tersisa di hatinya. Hal ini membuat Debby ingin menjauh sebentar dan kembali ke rumah orangtuanya. Evert marah-marah, semua barang Debby dikeluarkan dan Debby disuruh pergi dari sana. Debby yang duduk di bawah lantai, hanya bisa menangis menerima lemparan barang-barang dari suaminya.
“Saya merasa puas kalau melihat dia menangis, saya puas kalau bisa menyakiti dia. Saya ingin dia merasakan sakit seperti saya. Saya memang tidak pernah pukul dia, kalau saya kesel banget, saya pukul tembok.” itulah perasaan Evert saat itu. Susah bagi Evert untuk menghapus luka batin yang dideritanya.
Evert mencoba berbagai cara. Ketika di tempat tidur, Evert memeluk istrinya, tapi ada perasaan tidak nyaman. “Tapi saya merasa jijik aja gitu, saya merasa kok bekas orang ya? Terkadang juga terbayang di pikiran saya bahwa dia tidur dengan laki-laki lain. Saya kok bisa seperti ini ya? Saya komplain dengan Tuhan.”
Selama 1 tahun itu Evert menyimpan rasa sakit di hatinya, meskipun sebagai seorang hamba Tuhan, susah baginya untuk mengampuni perselingkuhan sang istri. Apalagi ketika dia sedang mempersiapkan materi tentang pengampunan, terjadi pertentangan dalam batinnya. Dia sampai-sampai membenturkan kepalanya.
Kemudian ada suara dalam hatinya. “Saya tidak tuntut kamu sempurna kok…Kamu mau naik kelas.” Meskipun sangat menyadari hal itu, tapi Avert tetap saja menderita. “Iya, saya sakit lho. Saya nggak kuat menahan. Tuhan, saya bisa gila nih. Lebih baik saya mati aja deh. Saya berharap kepala saya pecah.”
Dengan segala keputusasaan, Evert tetap pergi ke acara tersebut. Di atas sepeda motor yang setia membawanya ke tempat tujuan, Evert terus bicara dengan Tuhan tentang apa yang harus dia khotbahkan. Dia meminta bisa mengampuni istrinya, agar tidak ada rasa sakit.
”Jadi, ketika saya berkhotbah, Tuhan mengingatkan jika ada orang yang menyakitinya, ampunilah dia, doakanlah dia, berkati dia, Tuhan ingatkan yang lebih mengena kepada saya adalah jika engkau memberikan persembahan kepada-Ku tapi punya masalah dengan saudaramu. Pulanglah, bereskan masalah itu terlebih dahulu.”
Selesai ibadah, Evert menemui sang istri. Evert berdoa dan mengatakan kepada istrinya bahwa dia mengampuni istrinya. Sejak saat itu, damai sejahtera ada pada keluarga mereka. Rumah tangga mereka dipulihkan. (Kisah ini ditayangkan pada acara Solusi Life di O Chanel tanggal 11 Agustus 2010)
Sumber Kesaksian :
Evertlandus dan Debby (jawaban.com)
One Comment for “Susah Ampuni Istri Selingkuh, Meski Aku Hamba Tuhan”
Istriku tidak Cantik
Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya
saat itu aku menjadi makhluk yang paling berbahagia. Tapi yang aku rasakan
justru rasa haru biru. Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada
satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu.
Beliau yang paling keras menentang perkawinanku.
Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari, “Jadi juga kau nikah sama
‘buntelan karung hitam’ itu ….?!?”
Duh……, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon
istriku disebut ‘buntelan karung hitam’.
“Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam,
gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih
tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !!” sambung ibu lagi.
“Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan
Allah. Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu…?” Kali ini aku terpaksa
menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung
mendengar ucapanku.
“Oh…. rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu.
baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan
seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan
itu ke rumah ini !!”
DEGG !!!!
“Yanto…. jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba,” teguran
Ismail membuyarkan lamunanku.
Segera kuucapkan istighfar dalam hati.
“Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah …akhi,” sekali lagi
Ismail memberi semangat padaku.
“Aku terima nikahnya, kawinnya Shalihah binti Mahmud almarhum dengan mas
kawin seperangkat alat sholat tunai !” Alhamdulillah lancar juga aku
mengucapkan aqad nikah.
“Ya Allah hari ini telah Engkau izinkan aku untuk meraih setengah dien.
Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain.”
Dikamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama.
Memandangi istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam. Setelah
sekian lama kami saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati
kuberanikan diri untuk menyapanya.
“Assalamu’alaikum …. permintaan hafalan Qur’annya mau di cek kapan
De’…?” tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan
dalam tunduknya. Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam
pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur’an
tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui. “Nanti saja
dalam qiyamullail,” jawab istriku, masih dalam tunduknya. Wajahnya yang
berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat kuangkat
dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun ketika aku beri isyarat bahwa aku
suaminya dan berhak untuk melakukan itu , ia menyerah.
Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu ..bahwa wajah istriku ‘tidak
menarik’. Sekelebat pikiran itu muncul ….dan segera aku mengusirnya.
Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.
“Bang, sudah saya katakan sejak awal ta’aruf, bahwa fisik saya seperti
ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal
beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak
untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahnya Imam
malik yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya.
Saya ingin mengingatkan Abang akan firman Allah yang dibacakan ibunya Imam
Malik pada suaminya pada malam pertama pernikahan mereka,” …
Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengat patut (ahsan). Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang
banyak.”
Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata
itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita
yang memiliki cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama
besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah.
“Ya Tuhan aku menikahinya karena Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan
kasih sayang milikMu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan
menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas.”
Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhya dalam
dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih
menyisakan segumpal ragu.
“Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh… saya
siap menerima keputusan apapun yang terburuk,” ucapnya lagi.
“Tidak…De’.
Sungguh sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah.
Sudah teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika
seluruh keluarga memboikot untuk tak datang tadi pagi,” paparku sambil
menggenggam erat tangannya.
Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya bait-bait
do’a kubentangkan pada Nya.
“Tuhan tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan
cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang
cantik karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Tuhan saksikanlah malam ini
akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu.
Karena itu, pertemukanlah aku dengan-Mu!”
Aku beringsut menuju pembaringan yang amat sederhana itu. Lalu kutatap
raut wajah istriku denan segenap hati yang ikhlas. Ah, .. sekarang aku
benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita baik
sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat panjang pada-Nya.
Ia senantiasa menjaga hafalan KitabNya …dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
pada Allah …”
Kisah Nyata :
Cinta Suamiku mengalahkan Maut dalam Hidupku
Pernikahan tidaklah seindah seperti yang dibayangkan oleh dr.Tini Setiawan, seorang dokter umum yang dibesarkan oleh ibu yang dominan yang membentuknya menjadi wanita tomboy dan mandiri. Konflik dan pertengkaran selalu mengisi hari-hari pada lima tahun pertama pernikahannya, hal ini membuatnya hampir saja menyerah dan berniat mengakhiri ikatan kasih dengan sang suami.

“Karena konflik yang berkepanjangan, bahkan karena hal-hal kecil dan masalah pengambilan keputusan, hingga saya merasa rumah tangga kami bukanlah suatu kebahagiaan. Hal itu membuat saya berpikir jika sendiri mungkin saya akan lebih bebas.”
Sang suami, Rudi lebih banyak diam untuk meredam keadaan dalam menanggapi sikap dominan dr.Tini. “Saya tidak pernah menimpali, karena kalau saya lawan dengan kekerasan akhirnya masalah akan menjadi semakin besar.”
Namun Tuhan begitu mengasihi keluarga ini, Dia menggunakan suatu peristiwa yang sekalipun menyakitkan namun membentuk keduanya menjadi semakin indah.
“Awal-awalnya, saya merasakan sesuatu yang berbeda pada diri saya. Saya sempat terpikir, apa benar saya yang sehat seperti ini bisa terkena kanker. Tapi kanker dimana? Tapi saya selalu menepis pikiran buruk itu. Namun saat saya sedang bersaat teduh, pikiran itu muncul berulang-ulang dalam pikiran saya. ‘Tini, jika kamu terkena kanker apakah kamu siap?’ Hal ini membuat saya sangat kuatir, karena pikiran ini sering muncul.”
Akhirnya, pikiran buruk itu menjadi kenyataan. Suatu pagi, pada saat dr.Tini sedang sikat gigi, segumpal darah keluar dari hidungnya. Hal itu ditunjukkannya pada sang suami, dan membuat keduanya merasa terpukul. Untuk meyakinkan diri, dr.Tini menjalani citiscan, yang hasilnya adalah positif kanker nasofarin.

Pengobatan yang harus dr.Tini jalani adalah satu paket radiasi sebanyak 35 kali dan juga kemoterapi lewat infus seminggu sekali. Namun proses pengobatan ini membuatnya mengalami banyak penderitaan, dan kesehatannya semakin memburuk.
“Pada waktu radiasi, yang ditembak memang titik kankernya. Tetapi sinar radiasi itu merusak jaringan disekeliling kanker. Akibatnya, muka saya pun menderita luka bakar. Selain itu akibat radiasi yang harus saya jalani setiap hari, seluruh rongga mulut saya awalnya seperti sariawan. Namun makin hari semakin parah. Dan mulai pada penyinaran yang kesepuluh, saya sangat sulit untuk makan. Bahkan untuk minum air putih saja sangat pedih. Dan ternyata lukanya bukan hanya di rongga mulut, tetapi juga di tenggorokan, sehingga sewaktu saya paksakan untuk menelan, saya merasa tenggorokan saya seperti disayat-sayat dengan pecahan beling.”
Rudi begitu sedih melihat keadaan istrinya. Namun dia tetap mempercayai bahwa Tuhan sanggup memberikan kekuatan kepada istrinya untuk menjalani semua pencobaan ini, bahkan ketika sang istri merasa lelah berjuang melawan penyakitnya, dan sering kali merasa ingin menyerah.

“Istri saya bilang, dia sudah ngga tahan dan ingin tidur selamanya. Tetapi saya menjerit kepada Tuhan, dan bilang ini ngga boleh. Saya menangis dihadapan-Nya, saya tidak ingin ditinggal oleh istri saya.”
Disanalah dr.Tini melihat begitu besar kasih sang suami dan anak-anak kepadanya.
“Disitu saya melihat suami saya dan anak-anak berjuang. Mereka selalu minta, ‘Mama jangan pergi’. Suami saya mengatakan bahwa dia membutuhkan saya. Mereka mengatakan bahwa mereka semua sangat mengasihi saya. Mereka terus menyemangati saya, ‘Pasti bisa, susu ini pasti bisa dihabiskan. Mama pasti sembuh.’ Dan juga, Tuhan Yesus selalu ingatkan saya pada perjamuan kudus, bahwa bilur-bilurnya telah mengangkat segala sakit penyakit saya. Itu yang membuat saya kuat.”
Karena rasa sakit yang luar biasa, dr.Tini sangat sulit untuk tidur. Namun ketika dia membuka mata, bahkan pada pukul 2 atau 3 pagi, dia melihat suaminya sedang tersungkur berdoa kepada Tuhan, memohon kesembuhan atas dirinya. Lewat dukungan doa dan perjuangannya melawan kanker itu dengan terus memegang janji Tuhan yang dibacakan oleh suaminya setiap hari, dr.Tini disembuhkan secara total dari penyakit kanker yang mematikan itu.
“Waktu saya menjalani proses yang Tuhan ijinkan ini, dan setelah semuanya berlalu, melihat perjuangan suami saya begitu sabar dalam merawat saya, saya baru sadar bahwa Tuhan menempatkan seorang suami yang tepat bagi saya. Kami berdua saling melengkapi. Yang unik dan begitu luar biasa, saya tidak tahu mulainya dari mana, setelah saya sembuh saya merasa jatuh cinta lagi kepadanya.”

Hal yang sama juga diungkapkan dr.Tini,”Saya bersyukur luar biasa karena Yesus begitu baik. Dia begitu mengasihi saya, sebelum saya mengasihi Dia. Bahkan pertolongannya begitu nyata, pada saat saya mengalami saat-saat sulit. Hari ini, apa yang saya ucapkan bukan lagi teori-teori ilmu kedokteran, tetapi pengalaman hidup saya bersama Yesus.” (Kisah ini sudah ditayangkan pada 4 September 2008 dalam acara Solusi Life di O’Chanel).
Sumber kesaksian:
dr.Tini Setiawan

MANDUL
Aku hanya terpaksa menikahinya. TERPAKSA! Terpaksa karena didesak oleh orang tuaku. Didesak oleh norma yang ada di sekitarku. Hampir enam tahun aku menikah dengannya namun belum di karunia anak. Bukan karena aku mandul. Bukan juga karena dia mandul.
Jadi aku menikah bukan karena dasar cinta. Istriku juga merupakan pilihan ibuku sendiri. Aku hanya pasrah.
Sebelum menikah, aku sempat memeriksa sperma aku ke dokter dan tidak ada masalah. Demikian juga dengan istriku. Rahimnya normal. Menstruasinya juga teratur. Jadi apa yang salah?
Jika ada yang bertanya, “kapan nih punya momongan?” Aku hanya tersenyum. Ah, andai saja mereka tahu sebenarnya.
Sejak lima tahun yang lalu, aku juga punya kebiasaan yang baru. Aku tidak pernah buang air kecil di urinal. Kebiasaan itu berlangsung sampai saat ini. Aku lebih memilih masuk ke kamar mandi. Lebih aman buang air kecil di dalam ruangan sempit yang tidak akan ada lihat isi celanaku.
Bukan karena masalah ukuran penisku. Bukan karena terlalu kecil atau terlalu besar. Tetap aku punya alasan tersendiri kenapa setiap kali aku buang air kecil tidak di urinal.
Lima tahun yang lalu, istriku memotong kemaluanku setelah menangkap basah aku bercinta dengan seorang pria.
Jadi sudah tahu, alasan kenapa kalau aku menikah dengan rasa terpaksa? Alasan kenapa aku tidak bisa punya momongan dan setiap buang air tidak pernah di urinal. Tapi aku tidak menyesal malah bersyukur karena punyaku sekarang mirip seperti milik istriku. Jadi aku tidak akan merasakan sakit lagi kalau bercinta dengan kekasih gayku. Malah dia makin sayang sama aku.
*****
Setiap kali istriku bertemu dengan teman-temannya, pasti ujung-ujungnya bergosip. Mungkin itu yang dinamakan naluri wanita. Seperti siang ini, dia dan beberapa teman nongkrong di salah satu kafe di sebuah mal.
“Tau ngga jeng, suami aku itu loh. Kayak Ariel!” ucap Lydia.
“Ariel yang lagi ditahan gara-gara video porno mirip artis itu?” tanya istriku.
“Iya.”
“Apanya yang mirip?” kini Renata yang bertanya.
“Tau kan kalo video Ariel sama si Luna Cuma beberapa menit. Suami aku juga kalau main cuma sebentar.”
“Ow…” terdengar suara kompak aku dan ibu-ibu yang lain.
Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, mereka masih mengeluhkan sikap suami mereka yang tidak lagi segairah dulu. Atau curiga kalau suami mereka main dengan perempuan lain atau punya wanita simpanan.
Sementara istriku hanya tersenyum dan diam. Paling kalau mereka minta saran dengannya, dia cuma bilang, “sabar ya!” atau “dinikmati aja ya”.
Dia tidak perlu kuatir dan jadi bahan celaan. Dia tidak perlu kuatir kalau aku akan selingkuh dengan wanita lain. Orang-orang hanya berpikir kalau aku tipe suami yang setia.
Sejak dia memotong kemaluanku, dia bisa bebas menikmati dunianya. Dia bisa menjadi dirinya sendiri sama seperti aku. Dulu, ketika dia menikah denganku karena tidak mau dibilang perawan tua. DIa memang tidak bisa pernah lagi bercinta dengan aku. Tapi dia bisa merasakan orgasme. Kok bisa? Karena dia lesbian. Setelah memotong kemaluanku dan otomatis tidak lagi mendapat kebutuhan biologis maka dia memutuskan menjadi lesbian. Meski dia sering di juluki “si mandul”, sama seperti diriku. Baginya ngga masalah. Asalkan dia menikmati hidupnya.
Kami menikamti dunia kami karena nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Kami tetap bertahan dengan status sebagai suami-istri untuk menutupi dunia kami yang belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat.
Aku hanya ingin katakan, jangan ambil keputusan apa pun dalam kondisi emosi. Ambillah keputusan dalam keadaan tenang.
Andai saja aku diberi kesempatan berubah maka aku tidak akan menjadi seperti ini. Namun semuanya hanya andaian yang berbalut penyesalan.....
*****
TAMAT
Ternyata aku Mencintainya
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
Cinta Berdarah
Kita sling mncintai, tapi antara aku & kamu, beda. kita di takdirkn sbgai musuh dlam peprangan esok hari. besok kita akan sling membunuh d medan perang, sbnarnya aku tak kuasa berperang dnganmu, tapi kta baginda raja kami, aku hrus sprti itu.
Hnya diam dlam kebimbangan saja, pagi yg tak ingn aku temui, kini aku temui, hari ini aku akn bertemu dg wanita yg aku cinta, tapi bukan untk brgandengan tngan, mlainkan kita akn sling membunuh sbgai musuh.
Aku takut hari ini, aku takut dia hnyut dlam gumpalan darah peperangan. apa harus aku tmpulkan sja pedangnya biar dia tak terluka, atau aku serahkan sja tubuh ini untuk di tusuknya, agar aku sja ayg hanyut kedalam gumpalan darah peperangan.
Dlam kebimbangan ini, aku berangakat brsma prajurit2x yg lainnya, berlari smbari mnunggangi kudua2x jantan nan gagah, mnuju pasir2x tandus tak berpnghuni.
-"Apakah aku sedang bermimpi, ataukah ini memang knyatan dlam suatu peprangan ?"
prlhan kuda yg aku tunggangi ini mulai mlambat dlam larinya, rasa was was & kbimbangan ini smakin aku rsakan, ketika ku lihat di sebrang sna, ku lhat prajurit2x yang lain dlam msuhku di peprangan hari ini, membawa wanita yg aku cintai dlam rombongan nya.
-"Ternyata ini bukan mimpi, aku benar2x akan berprang dg wanita yg aku cintai, entah tubuh siapa yg akan mnjadi drah di hmparan pasir2x tandus itu." aku atau wanita yg aku cintai itu.
Angin yg berhmbus kncang mengadukan kedua klompok yg sling bermusuhan dlam peperangan. hamparan pasi pasir tandus tak berpnghuni, kini berubah mnjadi lautan darah berpnghunikan mayat mayat yg bergletakan tak braturan dlam peperangan.
jantung ini masih berdetak, tapi jiwa ini tlah kosong, ini bkan air hujan, ini air mta, adlah kesedihqan yg perlhan mulai membanjiri pipi yg tlah berdarah dlam peperangan.
Meskipun tangan & tubuh ini sibuk berperang dg pedang yg ku ayunkan di tngan, tapi mtaku masih menatap wanita itu, aku takut dia mnjadi darah dlam peperangan ini.
Aku lihat tngannya masih sibuk berprang, smentara bibirnya menyuarakan sesuatu pdaku.
"Hei .., jngan posisikan mtamuk arahku, kau akan terluka"
-"Jangan pdulikan aku , lebih baik kau jga dirimu sendiri, biarkan tubuh ini mnjadi dlam peperangan"
"Aku tak ingin kau mnjadi drah dlam peperangan ini"
-"Biarkan sja aku mnjadi drah, agar pasukan mu yg lain tertawa melihatnya"
"Jika mreka tertawa, kau pikir aku juga akan tertawa ?"
Mendngar hal itu bibirku membisu bakl patung yg membeku di tengah gunung es.
"Kenapa kau diaam ?"
-"Aaaa kkkkk uuuuuu "
"dengarlah, mngkin mreka akan trtawa mlihatmu mnjadi drah, tpi tdk dg aku, aku akan mnangis jika kau mnjadi drah dlam peperangan ini"
-"Benarkah itu elsha?"
"Iya, aku mencintaimu & kau jga mncintaiku, kita hrus berdiri, jngan smpai kita mnjadi drah dlam peprangan ini"
Saat itu aku hnya bsa diam dlam kebimbangan, aku terharu mendngar apa yg dia ktakan, smpai pipi yg brdrah ini, trbasuh air mta kebimbangan & kepedihan !
Semakin lma kmi berprang , pasir2x tandus ini smakin memerah penuh darah, stengah dri prajurut2x kami sdah punah mnjadi mayat2x yg bergletakan d pasir tandus penuh darah.
Sdangkan msuhku dlam peperangan ini, lebih byak dri pasukanku skarang.
Panas matahari yg menyengat, mngeluarkan keringat dlam hati yg penat, aku msih berperang, mlawan mreka yg masih mnyerang, begitu pun dg elsha,wanita yg aku cintai yaitu musuhku dlam peprangan ini, dia berjuang dg epdang yg sudah memerah penuh darah.
Entah ada berapa mtanya, ketika dia sibuk dlam peperangannya, dia msih prhtikanku yg hampir puanh mnjadi darah !
'Awas dibelakangmuuuuu..."
Mendnar hal itu, aku lngsung mmbalikan bdan ini ke arah musuhku yg ada di blakangku.
-" Kau tk akan bisa mmbunuhku, khiiiiaaaaaaa ...., ssiiiiieeeeetttttttttttttttttttzzzzzzzz"
dan nsuh yg hmpir membunuhku, aku bunuh dg pedang penuh darah.
-" terima kasih elsha"
"Iyaa, hati2x, "
Sampai akhirnya 37 dri setengah prajurit2xku yg tersisa, kini punah dlam pasir tandus yg memerah menjadi gumpalan darah. Mtaku smakin memrah dg kematian yg lainnya, dg tangan & yg penuh dg robekan, aku ayunkan pedang yg ku gengngam dlam peperangan, smpai 30 org dri musuh2xku, berhasil aku bunuh.
Dlam keadaan ini, aku berperang dg 13 org, sdangkan musuh musuhku dlam peperangan ini, memiliki pasukan yg lebih banyak dr pasukan ku skarang. Meskipun tubuh ini tlah lelah, tapi pedang yg memerah penuh darh ini, masih ku ayunkan dlam peperangan. Tangan & sbagian tubuh ini tlah penuh di lumuri darah2x musuh, langkah kaki ku pun mulai melemah ketika kulihat elsha wanita yg aku cintai dlam peperangan ini yaitu musuhku sndiri, tersayat pedang pasukanku di sbagian tubuhnya!
-"Elshaaaa ..., ???"
Melihat dia terluka, aku berteriak sembari menolongnya! Dg tubuh & kaki yg terluka aku berlari mendekatinya !
Dg posisi yg masih lumayan jauh dr wanita itu, aku berteriak pada pasukanku yg berusha membunuh elsha .
-"Heiiii ...., hentikan jangan kau sakiti dia lagi"
="Diam kau, biarkan aku membunuhnya, dia musuh kita"
-"Dia musuh kita ?, tapi aku mencintainyaaa"
="Kenapa kau inii ?"
-"kau tak perlu tau, matilah kauuu .... sieettttzzzz .."
="Penghiaa a a a a a a a a ..."
smpai akhirnya, kawanku dlam peperangan ini aku bunuh dg pedang yg penuh darah menjadi gumpalan darah.
-"Kau tak apa2x elsha "
"Aku baik-baik saja, terima kasih"
Ku lihat saat itu air mtanya mengalir deras dg expresi wajah yg terlihat kesakitan !
-"Elsha, ku lihat kau sprti kesakitan ?"
"Aku tak apa apa, jangan terlalu mengkhawatirkanku"
-"Jelaslah aku mengkhawatirkanmu, aku mencintaimu, kau dengar itu ?"
"Aku tau, aku mngrti, tapi sebaiknya kau menjauh dr sini, aku tak ingin kita saling bunuh di sini"
Perkataan yg keluar dari mulut elsha saat itu, memaksa aku menjauh dr hdapannya, dg kepala menunuduk, aku berbalik berjalan pelan menuju pasukan lawan. Kami masih berperang di atas pasir tandus yg memerah penuh darah.
Matahari pun hampir tenggelam menyaksikan peperangan ini, sampai semua pasukanku punah menjadi gumpalan darah. Mataku pun semakin memerah melihat mreka mnjadi darah, tapi itu semua tak membuat aku lengah & pasrah, aku masih berperang melawan mereka yg masih menyerang dg pedang yg ku genggam di tangan.
Saat itu aku berdiri bersama mayat2x yg bergeletakan di belakangku, sedangkan lawan yg aku hadapi, memiliki pasukan yg lebih banyak dariku.
-"Ayoo ... terusskaaan , aku tak takut dg jumlah kalian, khiaaaa"
Dg kaki & kepala yg bercucuran darah, aku menyerang mereka dg pedang yg semakin memerah, ku lihat saat itu, salah stu dari pasukan mereka yaitu elsha, tiba2x menghentikan langkahnya dlam perangnya, lalu iya berteriak pdaku.
"Hatiii-hatii, lawan yg kau hadapi bukan satu"
-"Tenanglah, aku takan menjadi darah"
Dan tiga dr empat musuhku yg tersisa itu, telah berhasil aku bunuh.
-"Sekarang kita imbang, kau atau aku yg akan menjadi darah sekarang?.
="Kau salah, di belakangku masih ada elsha, mungkin kau yg akan menjadi darah"
Sejenak aku terdiam mendengar apa yg musuhku katakan. sampai akhirnya dia menyerang saat konsentrasiku hilang, & saat itu pedang yg di ayunkannya, menusukku tepat di sebelah kiri dadaku. Aku tak sadarkan diri saat itu, yg ku lihat hanya tetesan darah yg keluar mengalir dari sbelah kiri dadaku.
Mungkin saat itu aku akan benar2x menjadi darah dlam peperangan ini, dlam tak sadar & tak berdayanya aku, aku masih mendengar suara samar2x wanita, sepertinya itu elsha!
"Tiiidaaaakkkk ..., kau tak boleh menjadi darah dlam peperangan ini"
Ku lihat dia berlari ke arahku bersama pedang yg di bawanya, ku rasakan dia semakin mendekat, smpai akhirnya, kaki yg berdarahnya itu, tepat menginjak tanah yg berada di depanku.
-"Ee e e eellsshaaa"
Dg suara tak berdaya, aku menyapanya.
"Bertahanlah, kau tak boleh menjadi darah, kau harus berdiri bersamaku disi"
Tak ada sepatah katapun yg bisa ku ucapkan padanya, aku hnya bsa menangis mndengar apa yg di ktakannya .
Lalu wanita itu berdiri, melepaskan tangannya yg memangku wajahku, tiba2x mata sayunya memerah ketika menatap salah satu pasukannya yg tersisa, yg membuat aku lemah tak berdaya. lau dg nada kesal iya berbicara pda prajuritnya itu !
"Sekarang kau puaas, kau berhsil menjadikannya darah, tertawalah .. "
="Jelaslah aku puas, mari kita rayakan kemenanga
ini"
"Brengseek kauu, siiieeeeetttttttzz ...,"
Tanpa bnyak kta2x yg keluar dr mulut elsha, pedang yg memerah yg masih di genggam d tangannya, iya tusukan ke tengah2x perut prajuritnya sendiri.
"Maattiii kauuu"
Lalu dg tangan yg berdarahnya , iya pangku kembali wajahku yg sempat terkapar di pasir ini.
-"Els sha, kenapa kau membunuhnua ?"
"Biarlah, aku tak ingin melihatnya hidu"
-"Apa karena kau mencintaiku ?"
Sejenak dia diam, lalu dia berkata dg wajah yg mempesona,
"Iya, karena aku mencintaimu, aku membunuhnya'
Semakin deraslah air mta ini, saat ku dengar dia berbicara apa adanya pdaku, lalu ku teruskan pembicaraanku pda wanita itu, dg sua yg pelan tak berdaya.
-"Elsha, mungkin sampai disini rasa saling mencintai kita""Kenapa kau berkata seperti itu ?
-"A k u tak kuasa menahan nafas yg tersisia, aku akan menjadi gumpalan darah dalam peperangan ini"
Dg tangisnya elsha masih bersuara, berbicara padaku.
"Jangan bicara seperti itu, aku mhooon, aku tak ingin kau menjadi darah"
-"Aku tak bisa elshaa, ini permintaan terakhirku, peganglah tanganku, jangan kau lepaskan sbelum nyawa ini ku lepaskan"
Lalu wanita itumelepaskan pedangnya, & memegang tanganku
"Kumohon bertahanlah"
-"Maafkan aku, tetap pegang tangannya, & rsakan setap denyut nadinya"
Perlahan2x denyut nadi dalam tangannya yg elsha pegang mulai melemah.
Sampai akhirnya, di akhir kata,
-" AKU MNCINTAIMU ELSHA" yang aku ucapkan pdanya, denyut nadi dalam tanganku berhenti & mati !
"Jaaaaangaaaan tinggaaaalkaaan aaaaakkkkkuuuuuu ... "
Jerit tak percaya elsha menggema di hamparan pasir tandus yg memerah penuh gumpalan darah, saat lelaki yg di cintainya kini pergi, hanyut menjadi gumpalan darah di pasir tandus yg memerah !
SELESAI .
Setelah kau.....
Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Idan untuk membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun melakukan simulasi pernikahan �.
Aku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,� gerutuku.
Idan tertawa. �Ibumu menanyakan calonmu lagi?�
Aku mengangguk cemberut.
�Apa jawabanmu kali ini?� godanya.
�Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar.�
Idan terbahak. �Kau kekanak-kanakan,� katanya.
�Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.�
Idan tersenyum. �Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi ibumu, apa kau tidak akanblingsatan kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh tiga.�
�Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,� komentarku.
Alis Idan terangkat. �Kenapa?�
�Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.�
�Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.�
�Persis!� potongku. �Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?�
�Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih banyak?�
�Sok tahu,� cibirku. �Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang keuntungan menikah.�
�Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh lima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.�
�Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?�
Idan tersenyum. �Ya, memang.�
�Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!�
�Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku hanya masih menunggu calon yang pas.�.
Dan aku menghela nafas panjang. �Ah, ya. Calon.�
�Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?�
�Ya,� gumamku enggan.
�Bukan karena kau sama sekali antimenikah.�
Aku menggeleng. �Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku kepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.�
�Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?�
�Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,� komentarku pahit. �Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.�
�Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran.�
�Idan!� kuayunkan tanganku, tapi �-begitu hapalnya ia dengan reaksiku�-ia menghindar sambil tertawa.
�Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng tetap?� tanyanya kemudian, lebih serius.
�Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah. Kalau saja,� aku terdiam.
�Apa?�
�Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat.�
�Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.�
Aku menggeleng. �Semua laki-laki binatang.�
�Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.�
�Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.�
Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.
�Idan!� desisku. �Nanti orang-orang memperhatikan kita!�
�Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,� dan ia kembali terkulai, mata tertutup, lidah terjulur.
�Idan, Idan,� desahku. �Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.�
Ia tergelak. �Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari golongan laki-laki.�
�Aku tidak bisa, Dan.�
�Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan.�
�Idan!� walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.
�Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?� katanya kemudian. Seperti biasa ia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu sepersekian detik. �Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani dan melindungimu.�
�Jangan bicara begitu,� cetusku, kembalimanyun . �Satu, ini hidupku, bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu, plusbodyguard kalau perlu.�
�Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,� Idan membungkuk dalam-dalam. �Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?�
Aku tertunduk lemas. �Itulah, Dan,� desahku. �Aku tidak tahu. Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.�
�Bagaimana dengan keturunan?�
�Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi, kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil risiko dilukai lahir dan atau batin. Tak ada kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang hidupku. Di samping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan? Untuk apa?�
Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. �Cinta mungkin?�
�Kau terlalu banyak menonton film romantis,� olokku. �Kau tahu berapa lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?�
�Berapa lama?�
�Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan imajinasi.�
�Imajinasi?�
�Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila.�
�Astaga,� gumam Idan. �Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?�
�Gorila,� jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.
�Idan,� keluhku. �Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus.�
Wajahnya serta-merta menjadi serius. �Aku tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah, yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi, tertawalah. Tertawalah keras-keras.�
�Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi,� gumamku. �Aku perlu solusi, Dan. Bukan ide-ide konyol.�
Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.
Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. �Pit, aku tahu ini akan kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami.�
Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.
�Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting, jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?�
Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku, sementarasense of humor -nya tak pernah gagal membantuku keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya.
�Ya. Aku percaya kepadamu.�
�Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di balik ideku ini. Percayalah.�
�Idan!� potongku tandas. �Ide apa?�
�Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,� ia bicara dengan hati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. �Kita akan melakukan pernikahan.�
�Apa?�
�Simulasi!� lanjut Idan sesegera mungkin. �Tentu saja lengkap dengan semua formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perluhoney moon �.�
�Bulan madu?�
Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam, �Simulasi. Sekali lagi, simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami istri �-simulasi�- sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa penalti. Bagaimana?�
�Idan,� desisku. �Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.�
�Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,� sanggah Idan mantap. �Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh pendirian�.�
�Serius, Idan, serius!�
�Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun.�
�Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan�.�
�Simulasi,� Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.
�OK. Pernikahan simulasi,� geramku. �Dan aku akan menyandang status janda setelah kita bercerai.�
�Simulasi.�
�Idan!�
�Upit!�
�Oh, Tuhan,� aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segera menjejeriku.
�Upit, kau tidak perlu semarah ini,� katanya. �Apa aku sejelek itu di matamu hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?�
Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. �Biarpun wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan malang manapun yang mencintaimu.�
Matanya berbinar. �Kau tidak marah lagi, kan?�
Aku menggeleng. �Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu memang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan keluar dari suatu problem serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku.�
�Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit,� ekspresinya tampak begitu tulus.
�Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan.�
�Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah, denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang tua, ulet, tangguh�,� ia berhenti saat melihat raut wajahku, �ibumu akan sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu.�
Ia diam sejenak. �Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta. Di mana pun.�
Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu. Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, ak pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan Idan.
�Apa aku harus menciummu?� tanyaku nyaris berbisik.
�Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam-diam mengawasi,� matanya kembali tertawa. �Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku�.�
�Idan,� teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idan tersenyum.
Suaranya bergetar. �Saya terima niat nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud dengan mas kawin tersebut, tunai.�
Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi?
Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu Idan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu.
Pak Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan lupa itu. Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak setelah mencium jemarinya. Ia mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang nyaris putih. Lalu kami berdua duduk berdampingan mendengarkan petuah Pak Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon putihnya dan mataku terpaku pada kain batikku.
Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, �Kau pucat sekali.�
�Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.�
�Terlalunervous ?�
�Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh.�
Aku tersenyum.
�Bagaimana aku tadi?� bisiknya.
�Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?�
�Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci dengan celanaku.�
Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan.
Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksiku.
Sebulan pertama Upit berusaha mengerti kebiasaan Idan menghabiskan akhir pekan dengan memancing. Di minggu kelima dia protes, dan mereka bertengkar. Pertengkaran terhebat yang pertama.
Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan �-simulasi-� kulewatkan di rumahku sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan, karena kondisi ibunya, yang memang telah sangat lama sakit, memburuk; mungkin karena ketegangan yang disebabkan persiapan acara pernikahanku dengan Idan. Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami lewati dengan tidur.
Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku menemukan Idan di sana, sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.
�Aku ada rapat pukul setengah delapan,� seru Idan sambil membalik dadar telurnya. �Aku mesti berangkat sebelum setengah enam.�
Kucicipi nasi goreng buatannya. �Aku tidak tahu kau pintar memasak.�
�Pramuka,� komentar Idan tersenyum. Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk sarapan. �Aku juga pandai tali-temali, semafor, menjahit.�
�Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.�
Idan terbahak. �Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap pagi.�
�Apalagi aku. Kita perlu cari pembantu.�
�Jangan,� Idan menggeleng. �Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar berbeda.�
�Jadi?�
Idan menggaruk kepalanya. �Bisakah kau masak nasi tiap hari?� pintanya. �Aku punya rice cooker.�
Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya. �Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.�
Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di dinding dapur.
�Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah keluarga,� katanya saat kembali ke kursinya.
�Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati,� lanjutnya. �Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat.�
Dahiku berkerut. �Untuk apa?�
�Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?�
Aku menggeleng. �Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.�
�Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat.�
�Kau kedengaran seperti diktator.�
�Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.�
�Itu terlalu banyak untukku.�
Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.
�Ingat,� lanjutku hati-hati. �Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya hak untuk mengaturku seperti itu.�
Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap. �Baik. Kalau itu maumu,� desisnya kemudian.
Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Idan memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idan akan semakin berang karenanya.
Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia kembali menemuiku di ruang makan. �Aku pergi, Pit,� katanya dingin.
Aku bangkit dari meja menghampirinya, berniat untuk memperbaiki situasi. �Sebagian teman-temanku menyarankan ini,� ujarku sambil meraih tangan kanan Idan dan menempelkannya di bibirku. �Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus mencium keningku.�
Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Dasar tidak tahu terima kasih!
Aku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan sebagian untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.
Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Idan telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, mesti kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.
Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari manisku selepas akad nikah. Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalam permainan ini, Idan adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini. Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan. Getir memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu.
Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong.Sudah pukul setengah dua belas malam dan Idan belum pulang?
Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku, kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil. Idan tidak ada di mana-mana.
Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!
Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga pagi Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat. Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan di sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit.
Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas di benakku saat aku mengangkat receiver.
�Upit?�
�Idan?� jeritku. �Kau di mana?�
�Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku pulang?�
�Idan, ini rumahmu!� meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh di pipiku.�Kau di mana?�
�Di luar.�
�Di luar rumah?�
�Ya. Dan aku lapar.�
�Oh, Tuhan�.�
Aku lari ke luar rumah. Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisi mobilnya. Entah sudah berapa lama ia di sana.
�Kau keterlaluan! Aku sudah berpikir untuk menelepon kantor polisi!� teriakku kepadanya.
�Aku juga rindu kepadamu!� balas Idan tertawa. Dan mataku rasanya semakin perih melihat tawanya lagi.
�Di mana saja kau dua hari ini?�
�Di hotel kecil dekat kantor.�
Ia baru saja menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya. Ia tidak berkomentar ketika melihat bahwa aku sudah membeli semua makanan kegemarannya. Ia hanya makan dua kali lebih lahap.
�Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk pulang?� suaraku bergetar.
�Aku perlu baju bersih,� ia tertawa malu. �Laundri hotel mahal sekali.�
Saat ia mencuci piring makannya, dengan punggungnya ke arahku, ia menyambung, �Selain itu, aku khawatir karena kau sendirian di sini.�
Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu.
�Aku akan pulang terlambat besok,� ucapku perlahan. �Aku harus lembur. Dikejar deadline.�
Ia berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku.Tapi mataku terpaku pada es krim di hadapanku.
�Oke,� katanya. �Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?�
�Asal kau sisakan cukup untukku,� aku tersenyum.
Paginya kulihat lingkaran merah kedua di kalender.
Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan membiarkan koran yang telah dibacanya berserakan di ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton film action �-genre yang paling tidak kuminati, dan sepak bola�- olahraga yang menurutku amat membosankan. Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannya mengeluarkan pasta gigi dengan memencet bagian tengah tubenya, tidak dari bawah seperti yang biasa kulakukan.
Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhir pekannya. Setiap Minggu pagi ia berangkat sebelum pukul enam untuk bermain sepak bola dengan teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul setengah empat, ia pergi memancing. Untukku yang selalu menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri lain, dari satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir dengan acara makan-makan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami. Aku tak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena aku dengan sangat cepat akan merasa jemu.
Sebulan pertama aku berusaha mengerti. Ia selalu pulang dengan mata berbinar hingga aku tak tega mengeluh dan protes. Tapi di pekan kelima kesabaranku tandas, dan pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya ke dalam tas, aku memintanya untuk tidak memancing.
�Temani aku jalan-jalan ke mal sore ini,� pintaku.
�Kau kan bisa pergi sendiri,� katanya sambil memasukkan kaus bersih dan handuk kecil.
�Seingatku kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke mana pun.�
�Aku tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit,� ia masih tetap tak memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. �Aku sudah janji dengan kawan-kawanku untuk mencoba tempat memancing baru.�
�Kau bisa mencobanya minggu depan.�
�Tadi malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini,� ia tersenyum sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. �Aku bisa memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!�
�Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,� gumamku.
�Pakai voucher dariku saja,� sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di tempat. �Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi lima belas ribu cukup?�
�Idan! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon.�
�Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan lima belas ribu.�
�Oh, Tuhan!�
Idan berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan di pinggang. �Pit, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi.�
�Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih. Yang aku butuh cuma keluar dari rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan.�
�Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan.�
�Ini bukan masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian? Aku perlu teman.�
�Kalau begitu ajaklah teman-temanmu.�
�Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka.�
Idan mengerutkan keningnya. �Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?�
�Ya!�
�Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan sepak bola lagi. Aku akan senang kalau kau ada di sana.�
�Idan!� jeritku. �Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku benci sepak bola dan lebih benci lagi memancing!�
Mata Idan menyipit. �Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,� desisnya.
�Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali.�
�Mengalah!� suaranya meninggi. �Apa aku masih kurang mengalah selama ini? Pit, kau sudah menyita enam kali dua puluh empat jam waktuku, apa kau tidak bisa memberiku�.�
�Enam kali dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara satu jam saat sarapan dan satu jam waktu makan malam!�
�Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan waktu denganku! Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamar dengan Pavarotti dan Flamingo.��
�Placido Domingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakai menyaksikan orang-orang saling membunuh tiap dua menit atau dua puluh dua orang memperebutkan satu bola kulit!�
�Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmmu yang becek air mata itu!�
�Kau kekanak-kanakan!�
�Dan kau, Tuan Putri, kau egois!�
Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu samping. Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakangku.
Seperti inikah perasaan para istri setelah bertengkar dengan suaminya? Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih.Aku sama sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Idan melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernah menuntut apa pun darinya. Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali sejak aku menikah �-simulasi�- dengannya, mengurangi jadwal clubbing-ku, pulang dari kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa ia akan menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya untukku? Tidak!
Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku. Pagi itu kulewatkan di depan televisi, menyaksikan film melankolis, air mataku kubiarkan meleleh tanpa henti, dan sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa.
Idan kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak lama kemudian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins.
�Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,� katanya.
�Aku tidak mau pergi ke mal.�
�Kau bilang tadi pagi�.�
�Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu kumat.�
�Upit, kalau kita tidak pergi sekarang, kita bisa pulang terlalu sore. Aku ada janji jam empat�.�
�Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang kalau kau mau.�
�Jangan seperti anak kecil begini, Pit,� geramnya. �Ayo!�
�Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silakan!�
Meski sudah bersikap menyebalkan, Puspita tidak berhasil membuat Idan marah. Pria itu malah bersikap sangat manis.
Wajah Idan benar-benar merah sekarang. �Upit! Jangan main-main denganku! Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengan cemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam lagi.�
�Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi.�
�Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan cokelat sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar dan melar�.�
�Idan!� jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri t-shirtnya. Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan melempar diri ke ranjang, sesenggukan.
Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali sama sekali, asing dan mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku terus menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat memaksaku tertidur kelelahan.
Sorenya aku keluar mengendap-endap. Idan pasti telah pergi memancing. Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis karena kata-kata kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada pilihan lain kecuali meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku. Maka selesai mandi aku segera memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor. Saat itu Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak ia memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koporku dari pintu kamar yang terkuak.
�Apa-apaan ini, Pit?� tanyanya.
�Aku pulang ke rumah Ibu.�
Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. �Semudah ini kau menyerah?�
�Ini di luar dugaanku.�
�Apa?�
�Aku tidak mengira aku menikahi monster.�
Idan terdiam, menunduk.
�Aku�,� katanya lirih. �Aku bawa pizza kesukaanmu.�
�Aku sudah terlalu gemuk.�
Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah, �Tidak. Kau cantik.�
�Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti apa-apa.�
�Aku sudah mencoba jadi suami yang baik.�
�Kau gagal.�
�Setidaknya aku mencoba. Kau � kau tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita berhasil�.�
�Simulasi.�
Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat. �Simulasi.�
�Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan.
Aku tidak akan menikah. Aku tidak suka menikah. Apalagi denganmu.�
Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari kamarku, aku ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping. Aku tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.
�Setidaknya tunggulah sampai hujan reda,� suara Idan menyambutku.
�Terlalu lama,� gumamku. �Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu.�
Aku tak peduli hujan yang serta merta mengguyurku basah kuyup saat aku membuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada di benakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air hujan hanya lima puluh meter dari rumah, aku begitu berang dan putus asa hingga aku keluar dari mobil dan menendang pintunya, meninju atapnya, air mataku larut dalam siraman hujan.
Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.
�Ayo pulang,� katanya.
Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.
Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia membopongku sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikan diri. Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.
�Ganti bajumu,� katanya.
�Semua bajuku di dalam kopor.�
�Ambil bajuku.�
�Tidak akan pernah!�
Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata berkobar,�Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!�
�Monster,� desisku.
Malam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri. Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet penurun panas dan aku membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuaku. Setelah itu semuanya kabur.
Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku, sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba tersentak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.
Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api dalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.
�Ibu.�
Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku. �Bagaimana? Sudah enakan?�
�Idan mana?� bisikku. Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya di mana aku sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus tentang Idan? rutukku pada diri sendiri.
�Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang.�
Aku sakit dan dia pergi ke kantor.Suami teladan.
�Ibu sudah berapa lama di sini?�
�Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?�
Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.
Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap untuk bicara lagi dengannya. �Bagaimana, Bu?� tanyanya, suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya ia menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengan tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.
�Tadi bangun sebentar, menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.�
Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.
�Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok.�
Ibu tertawa kecil. �Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan kau mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau tidak capai?�
�Saya pakai baterai Energizer, Bu.�
Ibu tertawa lagi, �Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia.�
Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!
�Sudah tanggung jawab saya, Bu.�
Alangkah klisenya!
Sunyi. �Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?�
�Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi.�
�Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau.�
�Ya, Bu.�
�Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan.�
�Baik, Bu.�
Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya.
Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi. Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya.
Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku memberontak saat ia mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat. Aku memintanya membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya lagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah berapa belas kali. Aku memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum, merebuskan mi instan yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang ke lantai, mengupaskan apel yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat dan memasakkan omelet yang hanya kucuil sedikit. Pijatannya di kakiku terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat ia mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannya untuk menyalakan televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulai mengangguk terlelap.
Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Makin lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya -- yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya -- yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan. Aku dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.
Menjelang fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu. Selama dua puluh tahun persahabatanku dengan Idan, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?
Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan menemaniku ke mana pun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkan pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untuk menyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?
Ketika aku terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapan pagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak memprotes ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia telah menyediakan bangku di dekat wastafel agar aku tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan pakaian bersih untukku dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga saat aku keluar dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup. Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan yang baru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susu cokelatku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangis karena terharu.
�Kau tidak ke kantor?� tanyaku mencoba membuka percakapan; kata-kata ramah pertama yang kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.
�Ini hari Minggu, Pit.�
�Aku sudah sakit selama seminggu?� bisikku tak percaya.
�Ya,� Idan tersenyum. �Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku tidak bisa tenang di kantor memikirkanmu.�
�Ibuku kan di sini.�
�Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf.�
Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah delapan pagi. �Tidak main bola?�
Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nenas. �Aku mau memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku cadangan.�
Aku tersenyum.
�Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa tahu,� ia mengangkat bahu dan tersenyum.
�Kau mau pergi memancing nanti sore?�
Ia menggeleng lagi.
�Kenapa?�
�Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau kutangkapi terus, mereka bisa punah.�
�Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya.�
�Terima kasih untuk apa?�
Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, �Karena meminjamkanmu untukku hari ini.�
Senyum Idan serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku. �Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?�
Aku mengangguk dengan leher tersumbat.
�Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi,� katanya kemudian. �Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit Nanti air jerukmu asin.�
�Selamat ulang tahun, Pit.�
Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. �Idan! Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!�
�Memberimu selamat ulang tahun,� jawabnya polos. Dan ia bangkit dari kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri. �Ayo! Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!�
Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku. Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat dengan berbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu lagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan.
Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan untukku. Pisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.
�Kau lihat?� Idan memotong renunganku.
�Apa?�
�Hadiahku.�
Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.
�Kau tidak menemukannya?� tanya Idan, dengan setitik kecewa dalam suaranya.
Aku menggeleng.
�Aku menambah memori komputermu,� akunya kemudian. Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah.
�Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat.�
Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku kecewa. �Oh,� hanya itu yang bisa kukatakan. �Terima kasih.�
�Kau boleh memelukku kalau mau,� katanya tersenyum dan membentangkan kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari kemarin.
Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum pernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup selofan. Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut.
Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.
Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat biasa.
Mungkinkah?
Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.
Pram berjanji akan membahagiakan Puspita. Tapi sayang semuanya sudah terlambat. Dia sudah menikah, sekalipun hanya simulasi.
Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bisa seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?
Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok di bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang satu dindingnya.
Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut, terhalangi serumpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi. Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini dan saat itu.
Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggam tanganku dan mengucapkan namaku. �Ita,� kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih persis seperti yang kukenang. �Kau datang.�
�Halo, Pram,� sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan mataku dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama tak pernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada. Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentang siapa pun juga. Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikian terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.
�Terima kasih mawarnya,� ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnya getaran di suaraku membeberkan semuanya.
�Kau masih ingat.�
�Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun,� katanya tersenyum.
�Kapan kau pulang?�
�Tadi pagi.�
�Dengan anak istrimu?�
Pram tertawa kecil. �Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita.�
Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus mengatakan apa.
�Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain denganmu,� senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang pernah dan mungkin masih bisa meluluhkan hatiku. �Sepuluh tahun aku mencari, dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu.�
Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini juga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awal perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu pun kubalas. Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki sesempurna Pram pun suatu ketika akan melupakanku.
�Kau sendiri bagaimana, Ta?�
�Aku sekarang editor senior,� jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa makna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi� cinta? Kesetiaan?
�Selamat!� ia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti. �Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu.�
�Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,� ujarku lirih. Apa jadinya kalau dulu kukatakan �ya�? Sepuluh tahun bersama Pram, seperti apa?
Ia menggeleng. �Aku hanya memintamu memilih.�
Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat ia bertanya, �Kau sudah menikah?�
Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup. �Siapa?� tanyanya lirih.
�Idan,� jawabku kaku.
�Idan? Irdansyah temanmu?�
�Sahabatku.�
�Sahabatmu,� desahnya. �Sudah berapa putramu?�
Aku menggeleng. �Belum ada,� bisikku.
Pram menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari sakunya.
�Aku�,� dibukanya kotak itu. ��Aku sendiri menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti ini, di benakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahun segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi�.�
Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia. Aku terkesima.
�Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang membuka toko barang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya,� tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.
�Terima kasih,� gumamku terpesona. �Cantik sekali.�
�Kau suka?�
Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Idan. �Kau�. Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot�,� suaraku keluar dengan susah payah.
�Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang aku yakin akan membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidak mengingatmu,� ia tertawa kecil. �Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini. Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak famili dalam radius dua ratus lima puluh kilometer.�
Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi pertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku bahagia?Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam hati. Tidak. Tidak.
Pram masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang dilakukannya di Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikan Pram yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri di hatiku. Sudah terlambat, sambatku kepada diri sendiri.
Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga jadi salah satu kegemarannya. �Kalau saja kau bersamaku, Ta,� katanya dengan mata berbinar. �Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari barang antik�.�
Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara. �Maaf,� katanya sejenak kemudian.
�Aku harus kembali ke kantor,� gumamku kaku.
�Baiklah. Mau kuantar?�
�Aku ada mobil.�
Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. �Ita, aku tahu semuanya berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemu lagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku perlu teman yang bisa mengantarku jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop.�
Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi, kalau saja aku bisa mengucapkan ya.
Pram membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup.
�Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku,� katanya. �Aku tidak punya banyak teman di sini.�
�Aku pikir-pikir dulu,� jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai kehausan untuk berlama-lama dengan Pram.
Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Di belakangnya ia menuliskan sederet nomor. �Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu.�
Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan lagi semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Pram? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan hanya sebuah permainan yang bisa kusudahi kapan pun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua padanya?
Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi.Tapi, hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau lambat. Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang semestinya kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?
Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.
Aku memikirkanmu.
Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dan suaranya dari benakku?
Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.
Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapi bisakah kau menghentikan badai?
Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.
Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal di luar kepala itu. �Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di galeri baru dekat kantorku.�
�Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita.�
Dan esok harinya kuhabiskan bersama Pram, mendiskusikan lukisan dan benda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram, membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama Idan. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tiba bertanya.
�Kenapa kau menikah dengan Idan?�
�Kenapa kau bertanya?�
�Seingatku, ia bukan tipemu.�
Aku tertunduk.
�Kenapa, Ita?�
�Idan mencintaiku,� bisikku pelan.
�Apa kau mencintainya.�
Kebisuanku memberinya jawaban.
�Apa kau bahagia?� lanjutnya lirih.
Kutatap matanya yang teduh dan hangat. �Ya.�
�Jangan berbohong.�
�Idan suami yang baik.�
�Tapi apa kau bahagia?�
Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya?
�Berapa lama kau menikah dengan Idan?�
�Setahun.�
�Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karena terpaksa? Karena usia dan�.�
�Stop.�
Aku bangkit dan meninggalkannya.
Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah kau renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu pernikahan tidak membuatmu bahagia?
Kartu itu bergetar di tanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air mataku.
�Ita,� tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan. �Ada apa?�
�Tidak apa-apa,� bisikku, mencoba mengendalikan diri. �Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Idan.�
Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan. Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya, seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.
�Idan.�
�Upit? Ada apa pagi-pagi begini?�
�Aku �. Kau tahu �,� aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada suamiku -- walaupun hanya simulasi -- bahwa aku sedang dirundung kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku. Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal seperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan.
�Ya?� desak Idan.
�Aku.... Idan, kau kenal Indri, kan?�
�Sekretarismu? Tentu.�
�Bekas pacarnya yang pilot itu kembali.�
�Lalu?�
�Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri.�
�Tapi Indri sudah punya anak dua kan?�
�Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh memilih untuk tinggal dengan siapa.�
�Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?�
Aku menghela napas. �Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak bisa menjawab.�
�Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar,� meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak kepada seseorang di ujung sana, �Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailah dulu. Aku menyusul.� Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.
�Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku �,� suara Idan kembali di telepon.
�Karena kau yang membuatkan kopi?�
�Kau!� ia tertawa, lalu segera kembali serius. ��Kupikir Indri dan pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga harus diperhitungkan.�
��Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?�
�Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri dan pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau.�
�Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak pernah mencintai suaminya.�
�Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?�
�Keadaan.�
�Maksudnya?�
�Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya tidak mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi.�
�Astaga. Kasihan sekali.�
�Jadi bagaimana?�
Idan diam sejenak. �Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.�
�Lantas aku mesti bilang apa?�
�Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi.�
�Kau sama sekali tidak membantu,� desahku.
�Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi rumah tangga orang.�
�Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu.�
�Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna.�
Aku tertawa pahit. �Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu.�
�Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!� ia berteriak. Lalu kudengar suaranya, sedikit jauh dari telepon. �Iya, Pak, sebentar. Istri saya �.�
Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.
Pilihan yang sulit: Idan atau Pram?
"Kita tidak bisa bertemu lagi Pram,� ujarku kepada Pram di telepon. Separuh jiwaku rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.
�Kenapa? Idan melarangmu?�
�Dia tidak tahu apa-apa.�
�Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau bisa mendapatkan semuanya?�
Kugigit bibirku saat setetes air bergulir di pipiku.
�Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya �.�
�Hentikan,� potongku dengan suara bergetar.
�Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali denganku.�
�Aku tidak bisa �.�
�Kenapa tidak?�
Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?
�Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain.�
�Aku �.�
�Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir.�
Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruh tubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makin cepat. Kupejamkan mataku.
�Aku tidak mencintaimu,� gumamku.
�Lebih keras lagi.�
�Aku tidak mencintaimu.�
�Kau berbohong.�
Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, �Ya.�
�Ita,� suara Pram gemetar. �Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia.�
Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus segan menyampaikannya pada Idan?
Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.
�Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus menempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera setelah masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi.�
�Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi � Entahlah.�
�Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?�
�Aku �.� aku tergagap dan menggeleng.
�Jadi, bicaralah dengan Idan.�
Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi.
Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.
�Kenapa kau sudah di rumah?� tanyaku.
Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku ke dalam rumah.
�Ada apa?�
�Sst!�
Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya tangannya.
Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan gambar � mawar putih?
�Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,� katanya.
Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benar sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.
�Aku � aku tidak punya hadiah apa-apa,� gumamku sambil kembali menatap ayunan itu, menyembunyikan kalutku. �Aku lupa �.�
Idan tertawa. �Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri,� katanya. Ia duduk di ayunan itu. �Ayo,� katanya sambil menarik tanganku.
Aku duduk di sampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi. Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak mengingatnya?
Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.
�Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal,� teguran Idan membuyarkan renunganku. �Ada apa?�
Kutatap matanya. �Dan, Pram pulang.�
Dahinya berkerut. �Pram?�
�Pacarku yang pergi ke Jerman.�
�Oh,� ia mengangguk. �Kapan?�
�Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun.�
Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu.
�Dia sudah menikah?� tanya Idan, seperti mendorongku bicara.
Aku menggeleng.
�Lalu?�
�Dia ingin menikah denganku,� ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya. �Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera bercerai.�
�Oh.�
Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, �Kau yakin ia mencintaimu?�
Aku mengangguk.
�Kau yakin akan bahagia dengannya?�
Sekali lagi aku hanya mengangguk.
�Kalau begitu, selamat,� ketulusannya terdengar hangat. �Aku ikut bahagia.�
Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku.
Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku. �Dan?� tegurku.
�Ya?�
�Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?�
�Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan untuk bercerai denganku.�
Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku. �Pit, bangun!�
�Ada apa?� gumamku. Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan pukul tiga lima belas dini hari.
�Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal.�
Aku terlonjak duduk. �Apa?�
�Ganti baju,� perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.
Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. �Kapan.�
�Baru saja.�
�Di?�
�Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi.�
�Idan �.�
Ia membanting pintu kamar di depanku.
Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.
�Dan, aku sudah siap.�
Tidak ada jawaban.
Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lampu taman aku bisa melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi di balik kedua tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku terjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku ia menangis.
Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia kembali menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman, menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.
Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku.
�Pit, bawa Idan pulang.�
�Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?�
Kak Ira menggeleng. �Coba lihat sendiri,� katanya sambil menunjuk ke halaman belakang.
Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh belas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku sadar ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang ditunjukkannya. Ketika aku mendekat, kulihat asbak di sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang.
Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia bahkan tidak menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar. Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentang ibunya.
�Aku mau pulang, Dan,� ujarku sambil memegang tangannya.
Ia menggeleng pelan. �Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus saja.�
�Aku tidak mau sendirian di rumah.�
Idan menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Ira menggamit tanganku dan berbisik, �Aku senang Idan sudah menikah denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal dengan Mama selama tiga puluh tiga tahun.�
Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu.Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil. Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sudah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya?
Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.
�Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?�
�Nanti saja. Aku tidak lapar.�
�Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?�
Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.
�Tunggu di sini,� ujarku lagi. �Aku tidak akan lama.�
Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara Idan di kamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa terpaku di ambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.
Kuhampiri Idan dengan ragu. Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku agaknya sedikit menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya. Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba saja ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan kuselimuti badannya yang menggigil.
�Maaf, Pit,� bisiknya. �Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku. Mereka �.�
�Aku tahu. Tidak apa-apa,� tanganku masih gemetar saat aku mengelus rambutnya. �Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.�
Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik. Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya, ia memegang tanganku.
�Terima kasih.�
�Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku.�
�Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan,� ia tersenyum nakal.
�Oh, kau!� aku ikut tersenyum, lega.
�Dan untuk menikah denganku,� lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu serius. �Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena mengira aku sudah beristri.�
Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, �Aku yang mesti berterima kasih kepadamu.�
�Untuk apa?�
�Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu.�
Idan tersenyum kecil. �Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih.�
�Jangan memaksa,� aku mencoba bercanda. �Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit.�
Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.
�Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku ini,� katanya.
�Entahlah, Dan,� aku tertawa kecil. �Mungkin aku sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus, keenggananku untuk menikah, karena tidak ada calon yang pas; dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah.�
�Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?� tanyanya dengan mimik lebih serius.
Aku terdiam sejenak. �Banyak,� jawabku akhirnya. �Aku belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama.�
Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.
�Kau memang selalu pintar bicara,� Idan tersenyum.
�Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?�
�Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi.�
Aku tertegun. �Apa maksudmu?�
Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. �Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat.�
Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda.Ia tampak sangat tenang dan serius.
�Aku masih belum mengerti,� bisikku.
�Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini adalah pernikahan sesungguhnya untukku.�
�Apa maksudmu kau mencintaiku?� suaraku tercekik.
�Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,� kata-kata Idan begitu lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terempas. �Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini.�
�Kau � kau tidak pernah �.�
�Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.�
�Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,� ujarku lirih. �Kau istimewa dengan caramu sendiri.�
Ia mengangkat bahu. �Tidak cukup untuk kau cintai.�
Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.
�Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau inginkan?� tanyaku datar.
Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya.�Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun.�
Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatapku. �Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau di sini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan.�
Ia menghela napas berat. �Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.�
Lama kami berdua saling berpandangan.
�Terima kasih, Dan,� desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan air mataku di bahunya.
�Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini.�
�Berapa lama?�
�Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin.�
�Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua.�
�Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia membutuhkan aku.�
�Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?�
Aku menghela napas panjang. �Entahlah, Pram,� bisikku.
�Apa maksudmu?� suara Pram terdengar kaget.
�Aku �. Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita.�
�Ita! Kau tidak �. Dengar, pikir baik-baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?�
�Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya.�
�Tapi kau tidak bahagia!�
�Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan membuatku bahagia.�
�Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini.�
�Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri.�
�Ita, kau tidak mencintainya!�
�Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup.�
�Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu?�
�Aku tidak pernah akan lupa, Pram.�
�Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?�
�Idan mengajariku tentang cinta.�
�Hanya karena itu?�
�Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya.�
�Ita �.�
�Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia lagi.�
Telepon kututup sebelum air mataku luruh.
�Upit.�
Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Ia berdan berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.
�Kenapa?� tanyanya.
Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.
�Aku tak bisa melihatmu begini,� lanjutnya pelan. �Ini keputusan yang sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?�
Aku mengangguk.
�Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit.�
Aku mengangguk.
�Kau akan menyesal.�
Aku mengangguk.
�Kau akan sedih, kecewa �.�
Aku mengangguk.
�Kau tidak mencintaiku.�
Aku menggeleng.
Idan terbelalak. �Upit!� pekiknya tertahan.
�Idan!�
TAMAT
Penulis: Novia Stephani
Saya telah mencari untuk mantra cinta untuk membawa kembali suami saya setelah telah berpisah untuk 3thn, saya telah mencoba 3 kastor berbeda mantra yang dibayar mereka pada uang dan bebas dari mereka mampu untuk mendapatkan suami saya kembali dan ini membuat saya melihat frustrasi sampai seorang teman saya mengarahkan saya ke Mutaba mantra kastor yang melakukan apa yang saya sebut mantra cinta saya dengan dia dan setelah 48hours panggilan suami saya saya dan berkata Dia ingin kita untuk bersama-sama dan sekarang kita kembali lagi dengan saya 12 tahun putri dan ada yang lebih romantis di hubungan kami, silahkan jika salah satu perlu mantra cinta sejati atau penipuan sebelum kemudian Dr.Mutaba mantra adalah solusi untuk masalah hubungan Anda Anda dapat menghubunginya di: greatmutaba@yahoo.com .
BalasHapus