Kamis, 24 November 2011

Hawa Nafsu Yang Menyesatkan







Selingkuh Tiada Jera

Repot memang kalau ketemu orang nekad macam Slamet, 40 tahun. Sudah diperingatkan agar jangan menyelingkuhi bini tetangga, masih juga dilakukan. Bahkan ketika Marsid pindah rumah demi keamanan rumahtangganya, eh Anis, 36 tahun, masih juga dikeloni diam-diam. Maka sesabar-sabarnya Marsid, akhirnya dia naik pitam juga. Saat Slamet kepergok membawa istrinya ke pasar Mojoroto (Kediri), langsung saja dihajar hingga babak belur.
Ini kisah tentang kenekadan lelaki yang mirip Ken Arok dalam kisah sejarah Singosari. Bila pendiri kerajaan Singosari itu tergila-gila pada Ken Dedes awalnya hanya karena melihat paha yang tersingkap, Slamet jatuh hari pada Anis juga hanya karena tak sengaja memergoki bini tetangga itu saat ganti baju. Hanya sesaat memang Slamet melihat “indomik” nan ranum milik bini Marsid, tapi sejak saat itu pula dia pusing tujuh keliling.
Nomploknya rejeki Slamet terjadi ketika dia hendak pinjam motor di rumah Marsid tetangganya. Karena memang sudah akrab, setelah permisi Slamet nyelonong saja masuk ke ruang tamu. Padahal ruang tamu itu berhadapan langsung dengan kamar tidur pribadi Marsid suami istri. Nah kebetulan kamar tidur itu terbuka, dan kebetulan pula Anis bini tuan rumah sedang melepas baju mau ganti sehabis kondangan. Sretttt…..!
Dalam hitungan detik, mata Slamet berhasil menangkap pemandangan spektakuler itu. Sejak saat itu dia mengalami gangguan kejiwaan sebagaimana Ken Arok. Bila Ken Arok selalu membayangkan Ken Dedes bininya akuwu Tumapel, sekeluar dari rumah Marsid berkhayal kapan bisa menikmati “apel malang” yang ranum itu. “Kini nyemplak motornya, lain waktu harus bisa nyemplak pemiliknya,” begitu tekad Slamet. Dasar.
Untuk urusan begituan, Slamet memang lumayan berbakat.Kemampuannya bergaul dengan makhluk lain jenis, memungkinkan dia bisa menggauli wanita yang jadi sasarannya. Di samping tampang lumayan ada, Slamet memang tahu persis tehnik-tehnik mendekati kaum hawa. Sepertinya dia itu memiliki ajian Semar Mesem atau Jaran Guyang yang sangat kondang sebagai pemelet wanita itu.
Arena dan medan perburuan bini tetangga memang sangat memungkinkan bagi Slamet. Selain rumahnya di Desa Bandar Kecamatan Mojoroto itu berdekatan adu tembok, suami Ny. Anis jarang di rumah. Profesinya sebagai satpam pabrik, menyebabkan Marsid hanya di rumah beberapa jam saja. Berangkat pukul 12.00 siang, pukul 24.00 dia baru tiba kembali di rumah.
Tenggang waktu selonggar itu membuat Slamet leluasa mengatur strategi jangka panjang dan pendek. Jam-jam 15.00 saat keluarga pada istirahat siang, Slamet yang baru pulang kerja menyempatkan untuk kongkow-kongkow ke rumah Ny. Anik yang kala itu juga sedang sepi. Awalnya sekadar ngobrol-ngobrol ngalor ngidul. Tapi begitu dapat peluang, dengan bisik-bisik dia menceritakan “kesaksian”-nya saat pinjam motor tempo hari. “Ah, masak sih? Udahlah jangan diinget-inget ya….,” kata Ny. Anis tersipu-sipu.
Ih….., ya nggak bisa, begitu jawab Slamet kala itu. Senyumnya terukir, tapi tangan nyelonong nyiwel (mencubit) lengan tetangga yang cantik menggemaskan tersebut. Ternyata bini Marsid ini tidak marah, kecuali bilang: iiihhh…! Slamet pun jadi makin berani. Langsung saja Anis didekap dan dicium bibirnya clepot. Lagi lagi dia tak marah kecuali hanya berkata lirih: dasarrrrr! Slamet pun pergi, hari itu serangan umum cukup sampai di situ.
Kelanjutannya tiga hari kemudian. Mengingat lampu sudah nyala begitu ijo, pada kunjungan berikutnya Slamet makin berani saja. Bini Marsid itu setelah diajak ngobrol-ngobrol sebentar langsung disergap dan digelandang ke kamar. Kejadian selanjutnya, terserah Andalah. Bila kemarin-kemarin hanya menyaksikan sekelebatan, siang itu boleh dikata Slamet bisa menikmati “apel malang” tersebut sampai glegeken (kenyang).
Akan tetapi, kejadian spektakuler itu tak berlangsung mulus. Agaknya ada tetangga lain yang memergoki Slamet keluar dari rumah Ny. Anis secara misterius. Tapi karena tak memergoki langsung dan istrinya tak mengakui laporan tetangga tersebut, Marsid mengantisipasinya dengan pindah rumah rumah kontrakan dari Bandar. Dia berharap dengan cara demikian tak ada lagi kemungkinan bininya ada main dengan Slamet.
Habiskah nyali Slamet atas politik Marsid? Tidak sama sekali. Ketika kontrakan baru Anis ditemukan, kembali mereka kencan di kamar saat suami tak di rumah. Bahkan beberapa hari lalu dua sejoli itu tampak belanja bersama di Pasar Mojoroto. Marsid yang mendengar laporan itu segera meluncur dan langsung Slamet dihajar pakai helm di tengah pasar, sampai tubuhnya terjengkang ngebruki dagangan orang. Slamet dilarikan ke RS Islam Kediri, dan Marsid diamankan di Polresta.






Ditembak Tentara Gadungan

Andaikan Mawar, 20 tahun, mau sedikit meningkatkan kewaspadaan nasionalnya, niscaya takkan jadi gadis tenggur alias meteng nganggur (hamil tanpa suami). Tapi nasi sudah menjadi bubur, mau apa lagi. Sampai bayinya lahir “sertu” Boim, 25 tahun, tak juga bisa menikahi, bahkan kemudian ketahuan bahwa pemuda itu bukan sertu marinir yang sesungguhnya.
Tangis penyesalan Mawar dimulai sekitar setahun lalu, ketika dia coba-coba merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Di kota metropolitan gadis manis asal Desa Tursino Kecamatan Kutoarjo Kabupaten Purworejo tersebut tinggal di rumah kakaknya, Cilandak, tak jauh dari Komplek TNI AL. Sebelum pekerjaan diperoleh, biasalah dia bantu-bantu pekerjaan keluarga, dari mencuci, ngepel hingga nyapu.
Insidentil Mawar juga suka disuruh beli sayur mayur ke warung, karena kakak perempuannya masih sibuk urusan lain. Nah, di sinilah dia kemudian kenal dengan Boim, pemuda berambut cepak yang masih tinggal di kelurahan yang sama. Sekadar basa-basi, kala itu si pemuda menanyakan kenapa kok dia yang belanja, bukan kakaknya sendiri seperti biasa. “Mbakyu baru sibuk latihan gerak jalan untuk Hut RI…,” jawab Mawar tersipu-sipu.
Kenalan dari warung si bewok ini terus berlanjut. Boim suka apel ke rumah Mawar. Di situ dia mengaku sebagai anggota mariner berpangkat sertu dan berdinas di Yonif Cilandak. Keluarga Mawar percaya saja, wong tampang Pamudi juga mirip anggota TNI betulan. Badan atletis, rambut pendek, sementara dia juga pernah menunjukkan foto dengan seragam marinir.
Anehnya, sejak kenal dengan Boim si Mawar jadi lupa akan misinya dari Kutoarjo dulu. Tak kerja tak masalah, asalkan menjadi anggota Persit (Persatuan Istri Tentara), karena suaminya adalah Boim yang anggota marinir itu. Belum-belum Mawar memang sudah berkhayal terlalu jauh. “Moga-moga mas Pam tak dikirim ke daerah konflik,” begitu katanya.
Hari-hari selanjutnya Boim-Mawar pacaran seribu rius. Betapa seriusnya, ketika diajak kawin siri alias diam-diam, gadis bukit eh desa Tursino itu mau saja. Padahal target Boim, menikah diam-diam itu kan sekadar untuk bisa menggauli Mawar secara halalan tayiban wa asyikan. Ibarat motor, meski belum ada SIM Polda kan sudah boleh dicemplak.
Repotnya Boim, menikahi Mawar kan sekadar untuk ajang SMI (Senam Malam Indonesia). Ee….lha kok sigadis tetangga itu tahu-tahu hamil 4 bulan. Keruan saja Mawar minta ditingkatkan statusnya menjadi istri resmi alias nikah penghulu di KUA. Maka “sertu” Boim pun dipanggil untuk menghadap keluarganya, untuk melengkapi surat-suratnya agar bisa nikah resmi di Kutoarjo sana.
Ide-ide gila mulai digelar Boim. Agar bisa memenuhi syarat perkawinannya, dia nekad bikin KTP palsu di Krawang, Jabar. Nah dengan surat KTP palsu itu dia mengurus surat-surat model NA untuk numpang nikah di Kutoarjo. Tapi celakanya, ketika dibawa ke kota Mawar, KUA sana minta juga surat izin nikah dari kesatuan, mengingat Boim anggota TNI AL.
Wah, di sini Boim mulai kerepotan. Bagaimana mau ngurus ijin kesatuan, orang sesungguhnya dia bukan anggota TNI AL. Sejak saat itu dia lalu main kucing-kucngan dengan kakak Mawar. Asal ditanyakan soal surat ijin dari kesatuan, dia menjawab bahwa komandan baru tugas ke Aceh atau Poso. Pokoknya sejak itu dia tak berani lagi setor muka ke rumah calon kakak ipar.
Enak di Boim, bikin sesak dada bagi Mawar. Soalnya janin di perutnya kan tidak bisa menunggu. Dan apa lacur, sampai bayi laki-laki itu lahir dari rahimnya Boim tak pernah bisa menunjukkan surat ijin kesatuan. “Jangan-jangan dia itu TNI gadungan. Masak begitu lamanya tak bisa menunjukkan surat-surat kecuali aurat…,” kata kakak Mawar gemas.
Hari itu juga keluarga Mawar mengecek ke TNI AL Cilandak. Ternyata Boim tak terdaftar di sana. Keluarga malang itu lalu menyerahkan Boim ke Koramil Kutoarjo. Ternyata betul, dia memang bukan anggota TNI AL, tapi hanya pengangguran yang bergelar pangeran panji klantung. Hari itu juga Boim tak boleh pulang, tapi diserahkan ke Polres Purworejo untuk ditahan.






Nasihat di Ujung Maut

Ajar, 29 tahun, memang kurang ajar. Jadi suami maunya menang sendiri. Dinasihati jangan lagi-lagi main selingkuh, malah tersinggung. Lupa bahwa Artanti, 25 tahun, adalah ibu dari seorang anaknya, wanita itu dicekik dan dijedotin tembok hingga tewas. Padahal, sebelum maut menjemput Artanti sebagai istri yang bekti ing laki (berbakti pada suami), masih mau melayani urusan ranjangnya Ajar.
Tatkala dibutuhkan, seorang istri disanjung dan dipuja laksana bidadari. Tapi setelah hasrat terpenuhi, lelaki begitu mudahnya mencampakkan seorang istri. Itulah nasib Ny. Artanti, warga Desa Tlagarejo Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang (Jateng). Ketika ketemu perempuan alternatip yang serba menjanjikan, Ajar suaminya jadi tega melupakannya. Padahal dari perkawinan yang belum sampai satu pelita itu telah lahir seorang anak yang tengah lucu-lucunya.
Ide gila untuk menduakan istrinya, muncul di benak Ajar ketika melihat Tinuk, 23 tahun, demikian menjanjikan dalam segala hal. Bahwa wajah wanita itu lebih cantik dari istrinya, itu sudah jelas. Tapi ada nilai lain, pada wanita dari Desa Kleteran tersebut. Bodinya seksi kemelon (enak dikeloni), kulitnya putih bersih dan betisnya mbunting padi. Melihat Tinuk dari ujung kaki hingga ujung rambut, membuat jakun Ajar langsung turun naik bagaikan bandul timba.
Ketika dia mendekati dan menyampaikan aspirasi arus bawahnya, ternyata Tinuk mau menerima cintanya. Bahkan dimadu pun, dia tak keberatan. Yang penting baginya, ada kesamarataan di bidang materil maupun onderdil. Tiga hari di istri muda, tiga hari di istri tua. “Hari Minggu-nya ya silakan tidur di pos hansip, Mas…,” begitu kata Tinuk sambil bermanja-manja pada Ajar.
Ajar jadi semakin mantap dengan program “slendro-pelog”-nya. Tapi ketika proposal poligami itu disampaikan pada Artanti istrinya, ternyata ditolak mentah-mentah. Justru Ajar diomeli sebagai lelaki yang ra noleh githok (tak tahu diri). Kok bisa-bisanyamau berbini dua, sedangkan ngurus satu istri dan satu anak saja ekonominya sudah kedodoran. Bahkan kata Artanti kemudian, kalau tak puas dengan pelayanan satu istri, mendingan dijepitin pintu saja!
Hati dan jiwa Ajar kadung terbelenggu Tinuk. Maka penolakan istrinya bukan alasan untuk mundur selangkah. Justru Artani semakin melarang, dia menjadi tambah nekad. Secara terbuka dilarang, main gelap-gelapan apa salahnya? “Naik angkutan umum mengambil rapot, mata ngantuk dipaksakan juga. Berbuat mesum kenapa repot, mau poligami dilarang nyonya,” begitu kata Ajar sok main pantun.
Ilmu kucing-kucingan pun lalu diperagakan Ajar. Secara diam-diam dia main selingkuh dengan Tinuk. Pergi berdua-dua memadu cinta, dari losmen satu ke losmen lainnya. Yang namanya hubungan intim, sudah menjadi topik utama ketika keduanya di balik kamar penginapan. Di sana Ajar tak peduli soal batal dan haram, yang penting karem (hobi). Dan Tinuk memberikan semuanya tanpa reserve.
Disimpan seperti apa, dibungkus yang bagaimana juga, namanya skandal asmara pasti tercium juga. Dan itulah yang dialami Ajar. Entah dari mana sumbernya, Artanti tahu bahwa Ajar suaminya main selingkuh dengan Tinuk, wanita yang ditawarkan sebagai perempuan alternatip. Tentu saja ibu satu anak ini menangis tersedu-sedu. Hatinya terluka. Ujung-ujungnya, Artanti purik (tinggalkan rumah) kembali pada orangtuanya. “Pulangkan saja pada ayah ibuku, wouwoooo…..!” kata Artanti menirukan Betaria Sonatha.
Oh, begini ya rasanya ditinggal istri, begitu kata Ajar ketika Artanti sudah berhari-hari tak pulang. Dia kini merasa cotho (kehilangan). Maklumlah, dalam urusan ranjang, Tinuk tak bisa melayani setiap saat. Beda dengan istrinya yang berstatus halalan tayiban itu. Makin celaka lagi, ketika hendak melampiaskan libidonya, Tinuk sedang dalam kondisi lampu merah. Mati awak mami (matilah aku), keluh Ajar berpekanjangan.
Lalu tanpa malu-malu dia menyusul istrinya ke rumah mertoku. Artanti mau kembali asalkan Ajar menghentikan paket selingkuhnya. Kala itu Ajar mengangguk setuju. Dan diboyonglah istrinya kembali ke Tlogorejo. Malam itu kembali Ajar serasa ulangtaun, karena istri “melayani” dengan gegap gempita. Apa lagi dia sudah 20 hari tak ketemu suami.
Akan tetapi, kemesraan suami istri itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba Artanti menasihati suaminya, agar jangan bermain selingkuh lagi, karena akan merusak citra dan martabat. Nah, di sinilah Ajar jadi tersinggung dan terbakar. Istri yang tergolek disampingnya itu lalu dicekik, dan kemudian dijedotkan ke tembok kamar. Saat itu juga Artanti wasalam meregang nyawa, sementara Ajar jadi urusan polisi Polres Magelang.






“Membanjiri” Bini Tetangga

Resiko dosa yang diambil Pablo, 35 tahun sangat berlipat-lipat. Bagaimana tidak? Memperkosa bini orang saja sudah dosa besar, kok ditambah lagi yang diperkosa Pablo wanita mau salat Isya. Meski usahanya tak berjalan mulus karena keburu “banjir” duluan, tak urung petani dari Godean Yogyakarta ini jadi urusan polisi dan pengadilan. Maklum, keluarga Ny. Anik, 33 tahun berikut jajarannya tak menerimakan perbuatan itu.
Ini kisah lelaki yang menyimpan dendam asmara tanpa penyaluran. Hingga usia kepala tiga kini, Pablo memang belum pernah berkeluarga. Dengan demikian bagaimana rasanya “mbelah duren” jatohan, dia sangat awam sekali. Tapi sebagai lelaki normal, dorongan untuk itu selalu ada meski medan dan sasaran penyaluran tidak pernah jelas; kapan dan di mana, dengan siapa.
Nasib jeblok Pablo memang sebuah keniscayaan. Soalnya dari sekujur tubuh lelaki desa Sidoarum Kecamatan Godean ini, nyaris tak punya nilai tambah sama sekali. Sudah tampangnya pas-pasan, pekerjaannya hanya buruh tani. Cewek masa kini yang mendambakan lelaki pegawai negeri, cowok model Pablo semakin terpinggirkan saja. Inilah ironi kehidupan. Beras hasil karya petani selalu dibutuhkan, tapi menjadi bini petani tanpa dasi jarang yang mau.
Dengan demikian Pablo terpaksa mengikuti barisan Sarjakesumo dalam kisah wayang kulit. Artinya, hidup membujang karena kepepet, bukan niyatingsun sebagaimana Resi Bisma. Untungnya, dia sendiri juga menyadari akan kekurangannya. Meski butuh tapi Pablo tidak sampai nabrak-nabrak macam jago pengin kawin. “Jodho kuwi bakal teka dhewe (jodoh akan datang sendiri),” begitu Pablo menghibur diri.
Umur Pablo terus berkejaran dengan waktu. Tahu-tahu kini sudah berusia hampir tujuh pelita. Lama-lama bosan juga dia hidup kedinginan setiap malam. Bila menerawang ke depan, dia semakin ngeri. Apa mungkin nanti sampai mati tak punya bini. Lalu siapa generasi penerusnya? Siapa yang bakal jadi pewarisnya? Lalu apa gunanya punya “cocakrawa” bila hanya untuk kencing doang?
Andaikan boleh berterus terang, sebetulnya Pablo punya inceran sendiri. Tapi dia malu untuk mengatakan, soalnya wanita yang jadi dambaan hatinya tersebut sosok yang telah berkeluarga. Jadi kalau diam-diam dia naksir Ny. Anik tetangganya sendiri, jelas suatu hal yang memalukan. Untungnya Gus Dur ketika jadi pernah presiden pernah bilang: kalau sekadar wacana, takkan ditangkap. “Jadi saya sekadar naksir bini tetangga nggak apa-apa,” batin Pablo menghibur diri.
Tampilan Ny. Anik di mata Pablo memang luar biasa, cantik dan seksi menggiurkan. Tapi dia ya hanya bisa menelan ludah saja, sebab memang sangat bukan levelnya. Boro-boro mendeklarasikan cintanya, mau mendekati saja dia sudah minder duluan. Akhirnya Pablo pun hanya bisa tersiksa manakala melihat Ny. Anik saat belanja ke warung, atau main ke rumah urusan dengan orangtua Pablo.
Ingin rasanya dia kembali ke dunia perwayangan. Misalkan dirinya seorang raja Rahwana, Ny. Anik yang merupakan penjelmaan Dewi Sinta tersebut akan dicolong dan dibawa terbang ke Alengkadiraja. Tak peduli Prabu Rama atau suaminya Anik kalang kabut, istrinya disekap dalam kamar dan digauli. “Rakyan Sinta siang ratri sinanggaman (Dewi Sinta disetubuhi siang malam),” begitu kalau boleh mengutip Serat Rama Yosodipuran.
Ketika khayalan itu tak pernah terwujud, mendadak Pablo melihat peluang emas. Pas Ny. Anik habis mandi dan ambil air wudlu untuk salat Isya, diam-diam dia membuntutinya. Tanpa ba bi bu lagi istri tetanga itu lalu diseret ke sebuah gubuk di kebon singkong. Ny. Anik yang hanya mengenakan handuk dengan mudah dilucuti dan maunya langsung dikerjai. Tapi celaka tiga belas, karena Pablo keburu nafsu, belum apa-apa sudah banjir duluan.
Akan halnya Ny. Anik, dia terus meronta dan mencoba membebaskan diri dari sergapan tetangga biadab. Keluarga dan tetangga memberikan pertolongan. Meski perkosaan itu gagal karena “kesalahan teknis”, tak urung Pablo diperkarakan. Beberapa hari lalu di sidang PN Sleman dia divonis hukuman 4 tahun penjara. “Barang bukti berupa celana dalam dan tikar dimusnahkan,” kata hakim dalam vonisnya.
Hanya dimusnahkan? Bukan disita untuk negara, Pak?






Ini Bukan Film India
Andaikan Badri, 51 tahun, kejar-kejaran dengan Ny. Cici, 42 tahun, itu bukan karena mereka sedang syuting film India. Itu adalah bentuk rasa ketakutan wanita pembantu itu, karena mau diperkosa sang majikan. Kenapa Badri jadi demikian ganas pada pembantu barunya? Maklumlah, di kala dia baru mabok usai minum bir, tiba-tiba melihat pantat Cici pembantu baru tersebut megal-megol saat menyapu halaman!
Tatkala kesibukan sebuah keluarga makin meninggi, sedangkan pekerjaan rumah tidak tertangani lagi, disitulah profesi pembantu mulai dilirik. Itu pula yang terjadi dalam keluarga Badri, warga Pejuang Jaya, Bekasi Utara. Ny. Badri yang menjadi pegawai negeri, belakangan memang makin kedodoran mengurus keluarga. Maklum, suami yang mestinya bisa bantu-bantu, malah asyik dalam kepenganggurannya.
Ironis memang. Sementara istrinya sibuk membanting tulang mencari sesuap nasi, Badri sebagai kepala rumahtangga malah tenang-tenang saja sebagai tuna karya. Dia rumah sehari-hari hanya petentang-petenteng, makan, tidur, dan minum-minum. Ini memang yang bikin sebel istrinya, punya suami saja kerjanya hanya menghabiskan uang. “Kerja males, kelon maunya nambah. Dasar…,” begitu kata Ny. Badri bila sedang kesal.
Kadang-kadang Ny. Badri merasa di persimpangan jalan. Kalau dia mengurus rumahtangga saja, siapa yang mencari makan? Kalau dia hanya mengurus pekerjaan, siapa yang mengurusi urusan dapur dan sebagainya? Nah, dalam keterpaksaan itulah dia harus merekrut seorang pembantu. Padahal dengan kehadiran TKW domestic tersebut, dia harus menyisihkan sebagian gajinya minimal Rp 200.000,- untuk gaji atau honornya.
Akhirnya dipilihlah Ny. Cici, yang tinggal di tetangga kampung. Kerjanya hanya partimer, yakni datang pagi dan pulang sore hari. Tugasnya di situ dia mencuci, nyapu, ngepel lantai dan masak. Dan pilihan pada wanita tersebut tidaklah meleset, karena dia ternyata rajin bekerja dan semuanya dikerjakan dengan beres dan rapi.
Hanya saja, Ny. Badri tidak menyadari bahwa TKW domestiknya tersebut berwajah masih lumayan cantik dalam usianya kepala empat. Dia juga tidak tahu bahwa Badri suaminya termasuk lelaki celamitan, yang jadi gatel tangan manakala melihat jidat licin barang sedikit. Karena “keteledoran”-nya itu pula, cari pembantu yang tadinya untuk mengatasi masalah, jadi malah bikin masalah. Jelas-jelas berseberangan dengan motto kantor Pegadaian.
Setan-setan dalam kehidupan rumahtangganya itu terjadi ketika Badri mulai memperhatikan bodi dan penampilan Ny. Cici non Paramida tersebut. Biar status hanya pembantu, ternyata dia mulus dan bebas dempul pula. Betisnya mbunting padi, dan bodinya demikian seksi. Maka setiap Cici ngepel lantai, dia suka mencuri-curi pandang, mengintai belahan dadanya. Kadang dapat, kadang kadang blank. “Wah, ukurannya kira-kira tiga empat,” batin Badri setiap misinya berhasil.
Akal tidak sehatnya mulai muncul, bagaimana caranya bisa menikmati tubuh mulus pembantunya itu. Dalam kondisi nafsu sebagai panglima, Badri memang tak peduli lagi akan status dan kedudukannya. Baginya, pembantu kan hanya status sosial dalam lingkungannya. Soal anatomi dan onderdil kan sama saja, biar itu majikan biar itu bawahan. Bagi Badri kini: biar pembantu, yang penting rasanya Bung!
Yang namanya moral, etika, kini dinafikan oleh Badri. Seperti beberapa hari lalu, ketika dia baru mabok-mabokan dengan teman-temannya di rumah, tiba-tiba dia melihat Cici megal-megol sambil nyapu. Wih, gayanya seperti ngebornya Inul ketika belum diomeli Rhoma Irama. Melihat pemandangan tersebut jakun Badri jadi turun naik. Andaikan Ny. Cici ini bandeng presto, mau ditelan setulang-tulangnya sekalian!
Akhirnya ketika teman-teman maboknya telah pulang, Ny. Cici yang baru nyapu di ruang keluarga itu lalu didekap dari belakang. Sadar akan niat jahat majikannya, dia lalu menepiskan dan mencoba lari. Kelanjutannya, terjadilan kejar-kejaran di ruang tamu dan dapur, persis seperti adegan film India. Cuma ini tak pakai ngomong nehi, nehi…!
Nafsu boleh besar, tetapi napas Badri pendek-pendek saja. Karana kecapekan, dia menghentikan perburuannya. Tapi itu tak lama. Sepuluh menit kemudian dia memburu Ny. Cici lagi sambil menodongkan golok. Kali ini sang TKW tak bisa berkutik lagi. Setelah ditelanjangi paksa, perkosaan itu pun terjadi, gusrak, gusrakkkkk! Dengan langkah termehek-mehek dia mengadu pada suami, dan Badri pun dilaporkan ke Polres Bekasi.
Kalau ketangkep, Badri kasih nama baru: bujang alias babu-babu diterjang.






Cinta Seharga Rp100 Juta

Mengkomersilkan cinta memang tak dilarang undang-undang. Karena itulah, meski perutnya sudah menggelembung, Ranti, 22, ikhlas saja tak jadi dinikahi Mukadi, 40, gendakannya selama ini. Cuma, untuk sekedar ganti rugi dia minta duda kesepian itu memberi ganti rugi Rp 100 juta tunai. Kan sama saja pusingnya.
Antara perjaka dan duda, memiliki titik persoalan yang sama, yakni: sama-sama kedinginan di malam hari. Cuma kalau dihitung-hitung, kaum duda pastilah terasa lebih menderita dibanding sang perjaka. Masalahnya, soal kebiasaan saja. Ibarat rokok, seorang bujangan yang belum pernah merasakan lezatnya rokok, takkan pusing setahun tak ketemu tembako. Beda dengan seorang duda. Sudah biasa merokok, tiba-tiba tak ada lagi suplai tembakau, ya asemlah bibir ini.
Mukadi seperti itulah kondisinya. Saat bujangan kalem dan alim, tapi dalam status duda sekarang, dia sungguh kemaruk dalam soal perempuan.Gasak sana, sikat sini. Ketika masih ada istri, satu wanita saja cukup. Tapi sekarang, cinta tukang ikan dari Tandjungpasir Kabupaten Tangerang ini bisa menclok sana menclok sini. Maklumlah, bau amis kan hanya ketika Mukadi menekuni pekerjaan. Di depan cewek, dia sungguh wangi, terbebas dari aroma ikan sotong dan cumi-cumi.
Ada sedikitnya tiga cewek yang dijadikan arena sasaran “ngetap olie” ibaratnya Vespa. Asal ketemu, meski bukan suami istri Mukadi pun mengajaknya ngamar dengan segala aktivitasnya. Tetapi jika dihitung-hitung, pada si doi yang bernama Ranti, dia paling rutin melabuhkan cinta dan nafsunya. Masalahnya, di samping gadis itu nampak lebih mempur dan bikin syurrr, juga tidak mata duitan. Dikasih duit alhmadulillah, dikeloni doang ya….haram jadah!
Cuma agak apes Mukadi. Sekian kali “nyetrom” di tempat dan obyek yang sama, tahu-tahu Ranti hamil. Awalnya, si gadis yang tak gadis lagi itu pun mencecar si doi begitu intens, untuk segera bertanggungjawab di KUA. Tapi ketika kemudian dia dapat “tokoh alternatip” yang bisa dikadalin, dia mengubah tuntutannya pada Mukadi. Nggak dinikahi juga ikhlas dunia akherat, yang penting diberikan kompensasi ganti rugi Rp 100 juta tunai. “Lumayan buat modal nikah dengan doi baru,” pikir Ranti.
Untungnya, cowok kekasih baru Ranti juga tidak bodo-bodo amat. Begitu tahu dia hanya akan menjadi “generasi penerus”, artinya hanya meneruskan atau “nyepuh” janin yang ada di perut Ranti, dia buru-buru cabut. Bingunglah si gadis komersil. Buru-buru dia mendesak si tukang ikan untuk segera membayar ganti rugi yang Rp 100 juta itu. Bahkan ketika nampak keluarga Mukadi tak begitu serius menanggapi tuntutannya, Ranti mulai berani mengancam: pilih jalur kekeluargaan, ataukah jalur hukum?
Enak bagi Ranti, sungguh nyesek di dada keluarga Mukadi. Memangnya duit Rp 100 juta itu sedikit, apa? Nunggu kucuran dana BLT dari pemerintah? Mau berapa kucuran untuk bisa mencapai jumlah itu. Karenanya Mukadi mampunya hanya minta tempo dan penjadwalan ulang. Lama-lama Ranti tidak sabar lagi. Kasus skandal asmaranya tersebut segera diusung ke Polres Tangerang. Cuma kata polisi kemudian, kasus ini tak ada unsur pidananya sama sekali. Bukankah persetubuhan itu dulu berlangung atas dasar suka sama suka? “Sudah, sudah, damai saja. Urusan polisi masih banyak yang lain,” kata petugas.
Kasihan memang pak polisi, enaknya tak pernah diajak, giliran hamilnya disuruh ikut repot.



Cerita-cerita diatas adalah "KISAH NYATA"
Sumber : http://beritaseru.blogspot.com/






Aku Pemuja Hawa Nafsu

Masa sekolah dan kuliah aku habiskan dalam genangan hawa nafsu. Minuman keras dan seks bebas adalah tarikan nafasku. Sampai akhirnya keluguan seorang pelacur muda membuka kedua mataku yang buta. Buta dari hidayah Ilahi.
Keluarga yang sakinah, mawadah warahmah, begitu penilaian orang atas keadaan keluargaku. Pamanku yang seorang pimpinan pondok pesantren di sebuah daerah di kotaku, keluargaku yang kebanyakan ustadz, bukan halangan bagiku untuk meraih berbagai julukan seperti “Anak Setan” yang diberikan oleh guru-guru di SMU atau “Si Bogor Gila” sebuah julukan yang diberikan teman-teman kost ku waktu kuliah di Bandung, karena kebiasaanku menenggak minuman keras. Aku lebih akrab dengan botol-botol laknat daripada buku-buku pelajaran sekolah. Apalagi al-Qur’an.
Bersama gank-ku disekolah, aku lebih dikenal “si pembuat ulah” yang membuat pusing guru-guru yang ada. Nggak aneh. Kalo selanjutnya setiap ada trouble, pasti aku bersama gank-ku menghuni daftar pertama “most wanted” pihak sekolah. Pernah suatu ketika, aku datang ke sekolah? terlambat dalam keadaan sempoyongan karena mabuk berat. Demi, melihat keadaanku datang dalam keadaan mabuk berat, guru? yang sedang mengajar di kelas pun menangis dan lari. Pernah juga, karena kebiasaanku memakai baju sekolah dikeluarkan, ada seorang guru perempuan yang memakai kerudung, menegurku untuk memasukan baju sekolah. Spontan, aku langsung membuka celana di depannya, lalu aku masukan bajuku. Guru itu langsung menangis, karena tindakan kurang ajarku. Sampai teman-teman pun menganggap aku ini sudah gila.
Walaupun demikian. Aku orang yang cukup disegani oleh guru-guru, terutama bidang eksak juga teman-teman yang top ranking di sekolah. Karena dalam urusan pelajaran prestasiku tidak kalah dengan mereka. Bahkan tidak jarang juara kelasnya pun sering meminta advis kepadaku, tentang pelajaran yang mereka tidak kuasai. Aneh memang. Lebih aneh lagi, kalau aku lagi dalam keadaan mabuk. Otakku menjadi sekaliber Einstein. Sering aku mendapat nilai tertinggi di kelas kala aku mengerjakan ulangan dalam keadaan mabuk. Mungkin karena itulah, pihak sekolah jadi sulit untuk menentukan sikap yang tegas atas kenakalanku yang boleh dikatakan melebihi ambang batas.
Di SMU pula aku mengenal Drugs. Bahkan sampai menjadi “BD”, sebuah istilah buat orang yang menjadi penjual obat-obat terlarang. Ganasnya, dalam menjual aku tidak pandang bulu. Teman-teman perempuanku yang suka pake, aku suplai juga. Kadang kalo sudah kepepet, mereka berani membayarnya dengan imbalan mereka mau diajak melakukan perbuatan tidak senonoh di dalam WC sekolahan.
Di rumah perilakuku tidak berubah. Di keluarga, akulah si trouble maker. Semua anggota keluarga antipati terhadapku. Aku sering bersitegang dengan saudara-saudara yang ada dirumah. Bersama dengan teman di rumah, aku? sering melakukan tindakan kriminal. Salah satunya? membongkar? dan menguras isi sebuah toko sembako dua malam berturut-turut.
Diasingkan ke Bandung
Melihat kenakalanku yang sudah tidak bisa di tolerir lagi. Selepas SMU, orang tua “mengasingkan” aku ke Bandung, dengan harapan agar aku bisa berubah dan jauh dari teman ku yang bergajulan.? Tapi di sana bukan perubahan yang aku hasilkan, malah aku semakin larut dalam kemaksiatan dan pergaulan bebas. Hal itu dipermulus lagi dengan keadaan lingkungan dan mata kuliah yang kuambil di perhotelan dengan mengambil jurusan bidang studi Bartending. Sebuah mata kuliah yang sangat kusukai dan ‘berbanding’ lurus dengan kebiasaanku menenggak minuman keras. Aku? bisa dengan leluasa mencicipi berbagai macam merek minuman keras tersebut. Malah, saking sudah “berkaratnya” aku dengan minuman keras, dalam bidang ini aku diberi “kelebihan” untuk bisa membedakan dengan mata tertutup, nama atau merek dan jenis, serta lamanya penyimpanan sebuah minuman, hanya dengan mencium dan sedikit mencicipi minuman yang di maksud.
Di Bandung, aku memilih tinggal di tempat kost, dengan enam orang teman laki-laki sekampusku ditambah tiga orang perempuan. Disini aku kian terjerumus dalam kemaksiatan. Aku yang biasanya ketika SMU cuma melakukan aktivitas mabuk, dengan perempuan pun cuma sebatas raba-raba, di Bandung lebih parah lagi. Free sex bahkan orgy atau melakukan seks rame-rame, tidur bareng dengan teman sekost yang perempuan, merupakan hal yang sudah biasa di kalangan teman-teman sekost ku. Hal itu sering mereka lakukan. Bukan sekali dua kali. Kadang bagi teman-teman kost kalau sudah kepepet, tempat-tempat kumuh pun bisa jadi tempat menyalurkan hasratnya biologisnya, yang biasanya untuk melakukannya cukup di sebuah lapangan.
Ada seorang temanku malah yang ngefans dengan peribahasa tidak ada kayu, akar rotanpun jadi. Tidak ada perempuan, abal-abal (wadam) pun jadi.Tapi sebejatnya aku, untuk urusan seperti itu atau seks bebas dalam keadaan normal, aku tidak pernah mau melakukannya, karena masih merasa jijik. Entah jika dalam keadaan mabuk berat.
Setelah beres kuliah di Bandung, akupun kembali ke kota asalku. Aku sempat ngangur dan malah masuk tahanan polisi sebanyak dua kali karena kasus obat terlarang dan tawuran, sebelum akhirnya diterima bekerja di sebuah hotel di Jakarta. Karena sempat jadi tahanan polisi itu jugalah, aku mulai agak berubah. Sedikit demi sedikit aku mulai berhenti dari ketergantungan obat-obatan dan minuman keras.
Pelajaran Dari Pelacur
Di tempatku bekerja, kebanyakan tamu-tamu yang datang bukan utuk menginap, melainkan untuk memuaskan nafsu mereka dengan gadis-gadis yang masih muda. Sebelumnya aku enjoy dengan keadaan bejat itu, menjual kondom dan mencari perempuan pemuas nafsu menjadi pekerjaan sampinganku. Sampai akhirnya ketika aku akan menyediakan sarapan pagi untuk tamu langgananku di salah satu kamar dan menelepon untuk menanyakan menu yang dia inginkan, aku merasa ada keanehan. Karena setelah beberapa kali di telepon tidak ada yang mengangkat. Kalaupun ada yang mengangkat, tidak ada suara. Dan setelah kucek kamarnya aku? terkejut dengan penglihatan di depan mata. Sepasang gadis yang masih belia dengan muka yang lugu dan kampungan, kentara dari pakaian yang dikenakannya yang berasal dari daerah, menjadi pemuas nafsu binatang tamu langgananku. Mereka amat lugu bahkan mengangkat gagang telepon pun terbalik! Astaghfirullah!
Tanpa sadar aku ber-istighfar. Entah kenapa. Aku langsung muak dengan apa yang aku lihat, aku muak dengan apa yang selama ini aku perbuat.? Bahkan aku muak dengan tempatku bekerja. Kejadian itu begitu memukulku. Perasaan bersalah sedemikian hebatnya menyeruak. Saking besarnya perasaan bersalah, seharian aku kerja tidak ada yang beres. Aku terus merenung, bertanya, bagaimana kalau hal itu terjadi kepada saudaraku? Atau siapapun yang aku sayangi? Aku tidak bisa membayangkannya. Besoknya aku mencoba menanyakan hal itu kepada tamu langgananku seorang warga keturunan. Ternyata dia membelinya dari orang tua anak itu di daerah Tegal. Maka sejak peristiwa itu, aku meng-itiqad kan diri untuk mengubah jalan hidupku yang telah banyak menyimpang dari jalan-Nya.
Salah satu bentuk realisasi hijrahku yang pertama adalah, dengan meninggalkan tempat aku bekerja dan kebiasaan-kebiasaan jahiliyyahku. Kini aku aktif mengaji bersama sejumlah kawan. Aku bertekad jika ada seorang saja muslimah yang diganggu kehormatannya Insya Allah aku akan menjadi seorang khalifah Mu’thasyim yang menolongnya. [seperti yang diceritakan Maulana kepada Mursyid]


[pernah dimuat di Majalah PERMATA, edisi Agustus 2003]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar