Rabu, 04 Juli 2012

Memaknai Hidup dengan Mengingat Mati 1 B

Sambungan kemaren
Batu nisan di perkuburan menjadi saksi bahwa tidak ada satu bagian pun dari dunia material ini yang ikut dibawa ke alam barzakh. Meskipun orang yang mati kaya luar biasa tetapi orang mati itu tidak dapat mengkafani apalagi menguburkan dirinya sendiri. Ia benar-benar bergantung dari belas kasihan orang lain yang mau memakaikan kain kafan untuknya dan menguburkan jasadnya. Harga kain kafan yang bagus sekitar empat ratus ribu rupiah, ongkos penggali kuburan empat ratus ribu rupiah, biaya lain-lain dua ratus ribu rupiah. Total biaya penyelenggaraan jenazah kira-kira satu juta rupiah. Jika ia mempunyai beberapa mobil mewah, maka di hari kematiannya itu ia tidak naik mobil pribadinya, tetapi meminjam mobil jenazah milik rumah sakit atau yayasan kematian.

Apa yang terjadi setelah pemakaman? Seluruh keluarga yang ia cintai dan selama ini menjadi pusat perhatiannya akan meninggalkannya. Seluruh harta yang ia miliki dan memenuhi ruang hati dan pikirannya akan habis dibagi-bagi kepada ahli warisnya.

Bagaimana nasib jasadnya yang telah dimakamkan? Dagingnya dalam tempo kurang dari tiga bulan sudah membusuk dan kemudian mencair. Tulang belulang akan hancur bersatu dengan tanah. Kain kafan pun akan lapuk dan terurai oleh waktu.

Bagaimana nasib batu nisan yang terukur namanya di sana? Tergantung anak cucunya. Jika anak cucunya sudah tidak mengingatnya lagi maka kubur itu akan terlantar. Batu nisan akan hilang. Tanah kuburannya akan digunakan oleh orang lain lagi.

Amal-amal yang ia lakukan selama hidup itu lah yang akan menemaninya. Celakanya justru amal-amal yang paling tidak ia pedulikan.

Ada dua hal menyakitkan yang pasti dirasakan oleh seseorang ketika ruh berpisah dengan jasad untuk selama-lamanya, sebelum ia merasakan nikmat atau azab kubur. Yang pertama adalah siksaan rasa sakit karena dipisahkan dari apa yang ia miliki dan ia cintai. Yang kedua adalah derita karena membayangkan hukuman yang akan ia jalani ketika diperlihatkan dosa-dosanya. Semakin besar rasa kepemilikan dan kecintaan kepada dunia semakin hebat derita yang dirasa. Semakin banyak dosa-dosa yang pernah diperbuat semakin besar ketakutan yang akan menyiksanya.

Untuk mendapat gambaran tentang derita akibat berpisah dari apa yang kita cintai, kita ambil contoh sederhana saja, seorang pegawai yang ditempatkan di Jaya Pura sementara keluarganya ada di Jakarta. Pastilah ia merasakan perihnya perasaan berpisah dari sanak keluarganya itu, meskipun ia bisa pulang sebulan sekali. Jika yang terjadi adalah ia hanya bisa pulang setahun sekali karena kendala biaya misalnya, maka derita akibat lamanya berpisah menjadi semakin hebat. Tetapi ia tetap punya harapan untuk dapat bertemu meskipun hanya sebulan sekali atau setahun sekali. Bagaimana dengan keadaan orang mati yang mencintai anak, istri dan harta ketika harus berpisah dari mereka semua dan ia tahu bahwa ia tidak mungkin berjumpa lagi dengan mereka?

Diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad ra: Malaikat Jibril as mendatangi Nabi saw dan berkata," Wahai Muhammad, hiduplah sesuka hatimu tetapi (ingat) engkau pasti akan mati. Cintailah siapa pun yang ingin engkau cintai, tetapi (ingat) engkau pasti akan berpisah darinya. Berbuatlah sekehendakmu, tetapi (ingat) engkau pasti akan mendapatkan balasannya." (HR. al-Hakim dan al-Thabrani, berkata al-Hakim: sanadnya sahih)

Sebuah ujaran terkenal di kalangan kaum Sufi:
موتوا قبل أن تموتوا
(Mûtû qobla an tamûtû)
"Matilah sebelum mati."
Sebuah ungkapan untuk latihan jiwa untuk melepaskan hati dari ikatan dunia bersifat yang sementara ini. Jika seseorang mati maka dengan terpaksa harus meninggalkan anak, istri, kerabat, sahabat dan hartanya, maka kaum sufi dengan suka rela berlatih menanggalkan kemelekatan terhadap selain Allah dari hati mereka. Jika keterpisahan dari mahluk tercapai dalam keadaan sadar dan kenikmatan kebersamaan Allah berhasil diraih maka kematian menjadi sesuatu yang dinanti, bukan ditakuti.

kedua adalah derita karena membayangkan hukuman yang akan ia jalani ketika diperlihatkan dosa-dosanya. Ketika ruh berpisah dari jasad secara permanen karena kematian, akal manusia menjadi demikian tajamnya sehingga ia akan dapat mengingat apa pun yang pernah ia lakukan, baik perbuata lahiriah maupun perbuatan batiniah. Pada saat yang bersamaan ia akan melihat pula efek seluruh perbuatan tersebut yang akan ia terima di alam barzakh maupun akhirat. Perbuatan baik akan membawa kepada kenikmatan pada kehidupan di barzakh maupun akhirat sedangkan dosa-dosa akan membawa malapetaka. Ketika ia melihat dosa-dosanya betapa terasa penyesalan demikian menyiksa. Kalau bisa ia ingin bisa kembali lagi ke dunia untuk mengganti perbuatan dosa itu dengan perbuatan taat kepada Allah. Tetapi pengembalian itu suatu yang mustahil terjadi. Jadilah sesal itu sakit yang tiada obatnya.

Al-Quran sendiri memberitakan keadaan orang yang sama sekali tidak percaya kepada kehidupan akhirat ketika ia meninggal dunia. Orang itu demikian menyesal dan ingin kembali ke dunia guna melakukan amal saleh yang dulu ia tinggalkan.

“Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, ia pun berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat menlakukan amal saleh yang dulu aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja dan di hadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS.al-Mukminun: 99-100)

Melihat dosa-dosa dan akibat yang mesti ia tanggung saja sudah demikian menyiksa, padahal ia belum benar-benar mendapatkan siksa akibat dosa-dosanya. Mungkin kita bisa mengambil contoh orang yang akan dicabut gigi, sementara ia sangat takut disuntik. Ketika antrian di dokter gigi masih sepuluh orang ia masih bisa tenang. Ketika antrian tinggal lima orang, jantungnya mulai berdebar kencang. Ketika antrian tinggal satu orang, wajahnya pucat dan terasa mau pingsan. Ketika ia harus masuk ruang dokter, kakinya gemetar hampir tak kuat berjalan. Ketika bertemu dengan dokter gigi dan melihat alat suntik, ia pun jatuh pingsan. Ia belum benar-benar di suntik, tetapi rasa takut akan disuntik demikian menyiksanya sampai membuat ia pingsan.

Bagi orang yang mati tidak ada yang lebih mengerikan dibandingkan akibat yang harus ditanggung karena dosa-dosa. Sehingga ketika ia melihat dosa-dosanya, pengelihatan itu telah menjadi sejenis siksaan sebelum ia benar-benar menjalani siksaan akibat dosa-dosanya.

Peringatan pertama dari kematian ini haruslah kita cermati. Kita harus mulai memilih apa dan siapa yang boleh mengisi hati kita. Mengisi hati dengan sesuatu yang akan musnah hanya akan memperparah luka akibat berpisah, memenuhi hati dengan sesuatu yang abadi akan menuai suka cita.

Kita pun harus mulai berhitung perbuatan apa yang bakal menjadi teman kita di kubur nanti. Amal baik akan mewarisi kebahagiaan dan amal buruk akan melahirkan kesengsaraan.
Syukron telah berlangganan

SILAHKAN DI BAGIKAN KE BERANDA / DI TANDAI DI SALAH SATU FOTO DI ALBUM JIKA YANG DI TANDAI DAPAT TERMOTIVASI TUK BAIK,. INSYAALAH AKAN DI CATATKAN SEBAGAI SUATU AMAL BAIK, AAMIIN,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar